Gambar ilustrasi
Ringkasan Tentang Hukum Bekerjasama Dengan Non Muslim
Dr. Muhammad Az-Zahrani
Seorang yang memperhatikan dengan seksama syariat Islam ini pasti akan mengetahui bahwa di antara karakteristik syariat Islam yang nyata adalah bahwa Islam merupakan agama jamaah, saling tolong menolong dan kerjasama untuk kemaslahatan manusia secara umum dan kaum muslimin secara khusus. Begitu banyak ayat yang mengingatkan manusia akan asal mereka yang satu dan sejarah mereka yang panjang dan begitu banyak dalil yang memerintahkan kaum muslimin dan selain kaum muslimin untuk saling tolong menolong dalam kebaikan dan melarang mereka dari sesuatu yang memudharatkan dan mengganggu mereka. Juga begitu banyak didapatkan dalam wahyu Al Quran larangan berbuat zhalim dan anjuran kepada manusia untuk berbuat baik kepada orang lain dan bahkan kepada alam sekitar. Dalam hal ini Allah telah berfirman :
{وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا
تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ والْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إنَّ اللَّهَ
شَدِيدُ الْعِقَابِ}
“Dan saling tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketakwaan dan janganlah kalian saling tolong menolong dalam dosa dan permusuhan. Dan bertakwalah kepada Allah sesungguhnya Allah amat keras siksaNya”. (QS. al-Maidah: 2)
Berkata Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan ayat ini : “Allah Ta’ala memerintahkan hamba-hambaNya yang beriman untuk saling tolong menolong dalam melakukan kebaikan dan itulah al-birr, dan tolong menolong dalam meninggalkan kemungkaran dan itulah ketakwaan. Allah juga melarang mereka saling membantu dalam melakukan kebatilan dan melarang mereka bekerja sama dalam perbuatan dosa dan perbuatan yang diharamkan”.
Adapun kerjasama di antara kaum muslimin dalam hal-hal yang di dalamnya terdapat kemaslahatan mereka adalah merupakan kewajiban dalam syariat dan tuntutan dalam kehidupan. Sebagaimana kerjasama mereka untuk melawan musuh-musuh mereka adalah kewajiban dalam syariat sebagai tuntutan keislaman mereka dan bahkan tuntutan kehidupan di zaman modern yang bertumpu pada bergabungnya kekuatan-kekuatan masyarakat baik regional maupun internasional, dan baik dalam bidang politik ataupun ekonomi, sampai-sampai kekuatan dan kelemahan di zaman ini tergantung kepada sejauh mana entitas-entitas yang ada dapat menyatu atau sejauh mana kelompok-kelompok maupun negara-negara dapat saling bekerjasama.
Akan tetapi ada satu pertanyaan yang ingin dibahas dalam tulisan ini yaitu : Apa hukum persekutuan / koalisi antara kaum muslimin dengan non muslim dalam urusan yang di dalamnya terdapat kemaslahatan bagi kaum muslimin namun pada saat yang sama juga memberikan maslahat bagi non muslim? Mana bentuk kerjasama yang dibolehkan dan mana yang tidak diperbolehkan?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan tidak berpanjang lebar kita katakan : Hukum bersekutu dengan non muslim tergantung kepada kuat atau lemahnya posisi kaum muslimin. Ketika kaum muslimin tidak membutuhkannya sama sekali dimana mereka mempunyai eksistensi dan kekuatan yang dengannya mereka tidak membutuhkan pertolongan dari siapapun dalam menegakkan kebenaran dan menyeru manusia kepada kebenaran itu dan bahwasanya eksistensi dan kekuatan tersebut menjadikan mereka mampu menyampaikan kebaikan-kebaikan kepada siapapun yang berhak mendapatkannya dimana tidak seorangpun yang mampu menghalang-halangi mereka dalam hal tersebut, maka dalam keadaan seperti itu tidak layak bagi kaum muslimin untuk bersekutu dengan pihak-pihak yang menyelesihi mereka. Maka patokannya adalah kemaslahatan umum bagi kaum muslimin dan negeri mereka, dan hukumnya bergantung kepada maslahat dan mudharat.
Adapun jika mereka dalam keadaan lemah dalam menghadapi musuh-musuh Islam maka mereka boleh mengambil keringanan (rukhshah) dalam masalah ini, sesuatu yang tidak diperbolehkan bagi mereka dalam keadaan kuat.
Para ulama membedakan hukum masalah ini berdasarkan kuat atau lemahnya kaum muslimin. Para ulama juga membedakan hukum bersekutu dan meminta bantuan kepada orang musyrikin dalam keadaan perang dan dalam keadaan selain perang. Rincian hukum ini bisa kita dapatkan dalam kitab-kitab fiqih dan kitab-kitab siyasah syar’iyyah.[1] Adapun tulisan ini hanya akan membahas hukum aliansi politik dengan non muslim.
Dalam masalah hukum mengadakan aliansi politik dengan non muslim ada dua pendapat di kalangan para ulama. Sebagian ulama mengharamkannya dan sebagian yang lain membolehkannya dalam tahapan tertentu dalam kondisi darurat.[2]
Pendapat yang pertama bersandar kepada dalil-dalil, diantaranya :
1. Firman AllahTa’ala :
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا
الْيَهُودَ وَالنَّصَارَىأَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَن
يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإنَّهُمِنْهُمْ إنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ
الظَّالِـمِينَ}
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim”.(QS. al-Maidah: 51)
Dalam ayat ini terdapat larangan mengangkat ahli kitab sebagai pemimpin dan menolong mereka sementara mereka memusuhi dan membenci orang-orang beriman dan bahwa keyakinan seorang mu’min seharusnya menjadikannya yakin akan datangnya pertolongan Allah dan tidak menunggu pertolongan dari musuh-musuh agamanya.
2. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwiyatkan At-Tirmidzi dari ‘Amru bin Syuaib dari bapaknya dari kakeknya, Rasul bersabda: “Penuhilah hak persekutuan (yang terlanjur dibuat) di masa jahiliyah karena sesungguhnya hal tersebut tidak menambah untuk Islam kecuali kekuatan, akan tetapi janganlah kalian membuat persekutuan dalam Islam”.
3. Kenyataan yang menunjukkan bahwa persekutuan ini biasanya hanya bermanfaat bagi musuh-musuh Islam baik Yahudi maupun Nasrani dalam mengangkat citra mereka karena beraliansi dengan orang-orang beriman sementara pada saat yang sama justru merusak citra gerakan politik Islam karena mau beraliansi dengan dengan partai-partai orang kafir. Berarti mudharatnya lebih besar dari maslahatnya, dan hal ini sudah cukup untuk menunjukkan keharamannya.
Adapun pendapat yang kedua yang membolehkan aliansi politik dengan mereka yang menyelisihi Islam juga bersandar kepada beberapa dalil, diantaranya :
1. Hadits Thalhah bin ‘Ubaidillah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sungguh aku telah menyaksikan di rumah Abdullah bin Jud’an sebuah hilf (perjanjian dan sumpah setia untuk saling menolong), aku tidak menginginkan hal tersebut ditukar dengan unta merah. Seandainya aku diajak kepada perjanjian seperti itu dalam Islam aku pasti akan memenuhinya”.[3]
Sumpah setia ini pada hakikatnya adalah aliansi untuk menegakkan keadilan dan membasmi kezhaliman. Yang menjadi pegangan dari hadits tersebut adalah perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Seandainya aku diajak kepada perjanjian seperti itu dalam Islam”, dimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memperhatikan jenis peserta yang ikut dalam perjanjian tersebut apakah mereka orang musyrik atau orang kafir karena yang menjadi tujuan utamanya adalah sebuah tujuan yang agung yang juga diserukan oleh Islam.
2. Aliansi yang dibangun oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perjanjian Hudaibiyah dengan kabilah Khuza’ah [4]. Dimana Khuza’ah masuk dalam persekutuan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka mencintai beliau dan menjadi penjaga amanah dan rahasia beliau dan kaum muslimin.
Berkata Ibnu Hajar rahimahullah [5] : “Di dalam hadits ini terdapat kebolehan meminta nasehat / pendapat dari sebagian kafir mu’ahad (yaitu orang kafir yang memiliki perjanjian dengan kaum muslimin) dan ahlu dzimmah apabila nampak dari mereka bahwa mereka menginginkan kebaikan bagi kaum muslimin dan sudah terbukti bahwa mereka lebih mengutamakan kaum muslimin dari selainnya bahkan dari orang yang seagama dengan mereka sekalipun. Hadits ini juga menunjukkan bolehnya meminta nasehat / pendapat dari sebagian pemimpin dari golongan musuh sebagai upaya untuk mengalahkan musuh lainnya dan hal ini tidak dianggap sebagai pemberian loyalitas kepada orang-orang kafir dan musuh-musuh Allah, bahkan sebaliknya dia merupakan upaya untuk memperalat mereka dan melemahkan jaringan mereka serta menggunakan sebagian mereka untuk mengalahkan sebagian yang lain. Namun hal ini tidak menunjukkan bolehnya meminta bantuan kaum musyrikin secara mutlak”.
3. Perjanjian yang dibuat oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan paman beliau Abu Thalib dan dengan Muth’im bin Adi [6]. Dimana beliau membuat perjanjian secara terpisah dengan keduanya untuk melindungi beliau yang tentu saja bermakna melindungi dakwah sehingga dapat mewujudkan tujuan dakwah yang disyariatkan dengan tidak mengorbankan prinsip-prinsip agama. Perjanjian seperti ini tentu lebih ringan dari memasukkan diri ke dalam perlindungan orang kafir.
4. Ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berhijrah ke Madinah, diantara program yang pertama beliau lakukan adalah membuat perjanjian antara kaum muslimin dan kaum Yahudi yang berisi kesepakatan-kesepakatan antara kedua kelompok yang dituliskan dalam sebuah prasasti yang tercatat dalam sejarah [7] memuat perjanjian aliansi militer dan musyawarah rutin dalam masalah pemerintahan, dan bahwasanya perkara-perkara yang mereka perselisihkan dikembalikan kepada Allah dan RasulNya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kemudian mereka menjawab dalil-dalil pendapat yang pertama sebagai berikut :
1. Tentang firman Allah Ta’ala dalam QS. Al Maidah : 51. Ayat ini sebenarnya tidak berbicara tentang masalah yang diperselisihkan. Ayat ini adalah nash yang jelas menunjukkan larangan memberikan loyalitas kepada orang-orang kafir. Dimana yang dimaksud dengan loyalitas adalah ridha terhadap mereka, mencintai mereka dan mengagungkan agama mereka [8] termasuk juga berkhianat kepada kaum muslimin dan justru mendekat kepada orang kafir dan musuh agama. Hal ini bahkan merupakan sebab turunnya ayat ini, sebagaimana dapat dilihat dalam kisah Abdullah bin Ubay dan Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu [9] dan masalah ini keharamannya disepakati oleh seluruh ulama.
Adapun beraliansi dengan non muslim untuk kemaslahatan Islam adalah persoalan lain yang di dalamnya terdapat kemaslahatan bagi semua tanpa mengorbankan agama sedikitpun dan tanpa menghilangkan kebencian yang ada dalam hati terhadap musuh-musuh syariat.
2. Adapun berdalilnya mereka dengan hadits : “Tidak ada persekutuan dalam Islam”, dan hadits-hadits yang semakna dengannya maka dapat dijawab dengan hadits lain yang diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam dan perbuatan beliau yang menunjukkan bolehnya beraliansi dengan kaum musyrikin seperti yang terdapat dalam sahih Bukhari dari Anas dia berkata : “Sungguh Rasulullah telah mempersekutukan antara Quraisy dan Anshar di rumahku”. [10]
Imam An Nawawi rahimahullah [11] : “Adapun sabda beliau “Tidak ada persekutuan dalam Islam”, yang dimaksud adalah persekutuan yang saling mewariskan dan persekutuan dalam perkara yang dilarang oleh syariat, wallahu a’lam”.
Berkata Ibnu Hajar rahimahullah [12] : “Hadits-hadits ini mungkin digabungkan maknanya bahwa yang dilarang adalah bentuk aliansi yang dahulu mereka lakukan di zaman jahiliyah yaitu menolong sekutu meskipun dia berbuat zhalim, membalas dendam kabilah apabila ada anggota kabilah yang dibunuh kabilah lain, saling mewarisi diantara orang-orang yang bersekutu dan hal lain yang sejenis. Adapun yang dibolehkan adalah selain bentuk-bentuk tersebut, seperti bersekutu untuk menolong pihak yang terzhalimi atau untuk menjalankan urusan agama dan anjuran-anjuran syariat lainnya”.
3. Adapun berdalilnya mereka dengan kenyataan maka hal tersebut bersifat relatif sehingga tidak dapat dijadikan sebagai dalil. Jika dalam satu keadaan sebuah aliansi benar dapat dimanfaatkan untuk merusak citra gerakan Islam maka dalam keadaan yang lain tidak seperti itu. Disamping itu garis perjuangan sebuah jamaah Islam jelas terlihat dari keseluruhan aktifitasnya dan keadaannya secara umum, bukan dari satu keadaan tertentu saja. Aliansi dengan non muslim juga tidak serta merta dianggap sebagai sebuah loyalitas, akan tetapi dia hanyalah sekedar bertemunya satu kepentingan yang sama dan bukan kebersamaan dalam setiap kepentingan.
Adapun dugaan rusaknya citra gerakan Islam disebabkan aliansi, akan berhadapan dengan manfaat dan maslahat besar yang lahir dari aliansi ini yang dengannya sebuah gerakan Islam atau negara Islam dapat menjaga kemaslahatannya dan kemaslahatan bagi masyarakat Islam seperti saling tolong menolong dalam menegakkan kebenaran, menghancurkan kezhaliman, menolak kebatilan dan semisalnya. Dengan penjelasan di atas jelaslah bahwa kenyataan yang ada pada sebagian keadaan tidak dapat menjadi dalil untuk mengharamkan aliansi.
Dari pemaparan di atas jelaslah bahwa pendapat yang membolehkan aliansi yang mendatangkan kemaslahatan adalah pendapat yang didukung oleh semua dalil. Yang dengannya kemaslahatan kaum muslimin dapat diwujudkan, wallahu a’lam.
Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah dalam mengomentari kisah perjanjian yang dibuat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan penduduk Mekkah di Hudaibiyah : “Sesunggunya kaum musyrikin, orang-orang fasik, kaum yang melampaui batas dan orang-orang zhalim apabila mereka menuntut suatu urusan yang di dalamnya terdapat pengagungan terhadap satu hukum diantara hukum-hukum Allah Ta’ala, maka tuntutan tersebut diterima dan mereka layak untuk dibantu dalam menjalankannya meskipun mereka menolak dalam urusan yang lain. Maka mereka bisa dibantu untuk urusan yang di dalamnya terdapat pengagungan terhadap syariat Allah – bukan dibantu dalam kekafiran dan kezhaliman mereka – dan tidak dibantu dalam urusan selainnya. Siapa saja yang mencari bantuan untuk suatu hal yang disukai dan diridhai Allah Ta’ala harus dibantu siapun dia selama bantuan tersebut tidak melahirkan apa yang dibenci Allah yang lebih besar dari apa yang disukaiNya. Ini adalah posisi yang paling sulit dan paling berat bagi jiwa manusia”. [13]
Pendapat Ibnul Qayyim rahimahullah ini membolehkan kerjasama dengan musuh seluas-luasnya selama itu memungkinkan.
Jika kita ingin menerapkan apa yang telah dijelaskan di atas dalam kondisi pemerintahan dan kelompok-kelompok Islam hari ini, baik di negeri-negeri Islam maupun di negeri-negeri non Islam, kita dapat menjabarkannya dalam poin-poin berikut :
1. Menegaskan beberapa kaidah syar’iyah yang menjelaskan bahwa tujuan syariat adalah mewujudkan kemaslahatan yang paling besar, dan kaidah yang menyebutkan bahwa mafsadat yang lebih kecil dapat ditempuh untuk mewujudkan maslahat yang lebih besar, juga kaidah yang menyebutkan bahwa urusan agama yang mudah tidak menjadi gugur karena urusan agama yang sulit serta kaidah yang menyebutkan bahwa sesuatu yang tidak dapat diwujudkan secara sempurna jangan ditinggalkan seluruhnya, disamping dalil-dalil syariat yang telah dijelaskan sebelumnya yang membolehkan persekutuan (aliansi).
2. Penjelasan para ulama yang dapat dijadikan penguat dalam masalah ini, di antaranya :
- Penjelasan Imam al-‘Izz bin Abdissalam rahimahullah tentang mengutamakan dukungan kepada para pemimpin yang lebih sedikit kefasikannya. Beliau berkata : “Apabila ditanyakan : Bolehkah berperang bersama dengan salah satu dari keduanya yang mana akan menyebabkan kuatnya pemerintahannya dan berlanjutnya perbuatannya dan itu secara tidak langsung akan membantunya melakukan kemaksiatannya? Kami menjawab : Ya, demi untuk mencegah kerusakan yang lebih besar dari dua kefasikan tersebut dan untuk menolak mafsadat yang lebih besar meskipun harus menunggangi mafsadat yang lebih kecil. Masalah ini tentu saja pelik karena dengannya berarti kita membantu – secara tidak langsung – seorang yang zhalim dalam mengambil harta negara misalnya demi untuk mencegah terjadinya kerusakan moral dimana hal tersebut adalah maksiat, atau secara tidak langsung membantu terjadinya kerusakan moral demi untuk mencegah banyaknya darah tertumpah dimana hal tersebut adalah maksiat. Membantu satu kemaksiatan dapat saja dibolehkan, namun kebolehannya bukan karena perbuatan tersebut adalah maksiat akan tetapi karena dia merupakan jalan untuk mewujudkan kemaslahatan yang lebih besar. Demikian pula apabila bantuan tersebut menghasilkan maslahat yang lebih besar dari mafsadat seperti mengorbankan harta untuk menebus kaum muslimin merdeka yang menjadi tawanan orang kafir yang durhaka”. [14]
- Beliau juga berkata : “Menolong dalam dosa, permusuhan, kefasikan dan maksiat bisa saja dibolehkan namun bukan karena kemaksiatannya akan tetapi karena dia merupakan jalan untuk mewujudkan kemaslahatan. Maka menolong dalam dosa, permusuhan, kefasikan dan maksiat dalam hal ini adalah sarana yang terpaksa ditempuh”. [15]
- Berkata Ibnu Taimiyah rahimahullah : ”Dan seringkali seorang menjadi hakim – bahkan pemimpin – diantara kaum muslimin dan bangsa Tartar dan dalam dirinya ada keadilan yang ingin diterapkannya namun dia tidak mampu melakukannya atau bahkan ada yang melarangnya dari menerapkannya, maka Allah tidak membebani satu jiwa kecuali apa yang berada dalam kemampuannya. Umar bin Abdul Aziz telah dimusuhi dan diganggu karena sebagian keadilan yang ditegakkannya bahkan dikatakan bahwa beliau diracun karena hal tersebut. An Najasyi dan orang-orang semisalnya berbahagia di dalam surga meskipun mereka belum menegakkan syariat yang belum mampu mereka tegakkan, bahkan mereka memerintah dengan hukum yang memungkinkan mereka untuk berhukum dengannya”. [16]
- Beliau juga berkata : “Menyebarkan keadilan menurut kemampuan dan menghapuskan kezhaliman menurut kemampuan hukumnya fardhu kifayah dimana setiap orang harus menegakkan apa yang mungkin ditegakkannya jika tidak ada orang selainnya yang mampu menegakkannya dan dia tidak dituntut – dalam keadaan seperti ini – untuk menghapuskan kezhaliman yang tidak mampu dihapuskannya”. [17]
- Berkata Ibnu Hajar rahimahullah : “Di dalam kisah perjanjian Hudaibiyah terdapat kebolehan meminta nasehat / pendapat dari sebagian kafir mu’ahad (yaitu kaum kuffar yang memiliki perjanjian dengan kaum muslimin) dan ahlu dzimmah apabila nampak dari mereka bahwa mereka menginginkan kebaikan bagi kaum muslimin dan sudah terbukti bahwa mereka lebih mengutamakan kaum muslimin dari selainnya bahkan dari orang yang seagama dengan mereka sekalipun. Hadits ini juga menunjukkan bolehnya meminta nasehat/pendapat dari sebagian pemimpin dari golongan musuh sebagai upaya untuk mengalahkan musuh lainnya dan hal ini tidak dianggap sebagai pemberian loyalitas kepada orang-orang kafir dan musuh-mush Allah, bahkan sebaliknya dia merupakan upaya untuk memperalat mereka dan melemahkan jaringan mereka serta menggunakan sebagian mereka untuk mengalahkan sebagian yang lain”. [18] Jika Ibnu Hajar rahimahullah berpendapat bolehnya meminta nasehat dari para pemimpin kaum kuffar, maka bagaimana pula dengan beraliansi yang hanya sebatas saling mengambil maslahat dimana hal tersebut lebih rendah tingkatannya dari meminta nasehat mereka?
- Perkataan Ibnul Qayyim yang telah disebutkan sebelumnya : “Siapa saja yang mencari bantuan untuk suatu hal yang disukai dan diridhai Allah Ta’ala harus dibantu siapun dia selama bantuan tersebut tidak melahirkan apa yang dibenci Allah yang lebih besar dari apa yang disukaiNya”.
- Berkata Imam asy-Syafi’i ketika menyimpulkan masalah ini : “Jika seorang pemimpin melihat bahwa seorang yang kafir memiliki pandangan yang cemerlang dan bersifat amanah dalam urusan kaum muslimin dan keadaan mengharuskan untuk meminta bantuan darinya maka hal itu dibolehkan, namun jika tidak demikian maka tidak dibolehkan”. [19] Dan masih banyak lagi pernyataan para ulama dalam masalah ini.
4. Dibolehkannya aliansi dengan kelompok yang menyelisihi Islam tidak hanya terbatas pada adanya pemerintahan Islam, akan tetapi juga dibolehkan bagi jamaah-jamaah Islam dan gerakan-gerakan yang bekerja untuk Islam baik mereka berada di tengah-tengah masyarakat muslim yang tidak kental keislamannya atau di tengah-tengah mesyarakat kafir sebagaimana yang terjadi di Eropa hari ini. Dan untuk setiap kondisi para ulama berijtihad dalam menetapkan hukum yang sesuai dengan keadaan masing-masing dengan mengutamakan kemaslahatan bagi masyarakat negeri tersebut dan menolak mafsadat yang paling besar dari mereka.
5. Dalam masalah ini kita tidak sedang membandingkan antara Islam dan hukum atau sistem selain Islam sebab jika ini masalahnya maka persoalan ini sudah selesai sejak awal dimana kita tidak akan memilih selain Islam. Masalahnya adalah kita dihadapkan pada pilihan antara sistem yang berkuasa dengan segala anarkisme dan kediktatorannya dengan sistem pengganti yang memiliki kebebasan dan perlindungan; inilah yang harus kita bandingkan. Karena kita berada dalam kondisi dimana kita tidak mampu menegakkan Islam secara sempurna, sebab jika tidak demikian kondisinya maka siapa yang mampu menegakkan Islam dia tidak perlu masuk ke dalam seluruh pertimbangan di atas. Adapun dampak yang lahir dari masuknya kita ke dalam jalan ini berupa terbantunya – secara tidak langsung – beberapa kemaksiatan maka hal tersebut terjadi demi untuk mencegah terjadinya kemungkaran yang lebih besar dan lebih dibenci Allah dari pada maksiyat yang terjadi. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa bisa saja membantu sebuah kemaksiatan dibolehkan, namun bukan karena dia adalah sebuah kemaksiatan, akan tetapi disebabkan karena hal tersebut dapat mencegah kemaksiatan yang lebih besar sebagaimana yang telah dijelaskan oleh para ulama. [20]
6. Tidak ada kontradiksi antara kesepakatan dan perjanjian ini dengan prinsip wala’ terhadap orang-orang beriman dan bara’ terhadap orang-orang kafir serta memerangi dan tidak mencintai mereka, karena hal ini tidak ada kaitannya dengan urusan hati dan kecintaan, disamping itu keadaan ini hanya bersifat sementara sesuai dengan kondisi yang dihadapi kaum muslimin.
7. Sesungguhnya ayat-ayat dalam surat Bara’ah (At-Taubah,-ed) menjelaskan kondisi terakhir dari perjanjian-perjanjian dan aliansi dengan kaum musyrikin dan bahwa perubahan-perubahan yang terjadi dalam masalah perjanjian dan aliansi ini sepanjang sejarah perjuangan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sangat terkait dengan kondisi kekuatan dan kelemahan kaum muslimin.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa hukum aliansi ini bisa berbeda-beda tergantung kondisi yang dilalui sebuah pemerintahan Islam atau sebuah gerakan Islam dalam perjalanannya untuk menegakkan agama dan meninggikan panji-panjinya. Tergantung apa yang paling maslahat baginya dalam keadaan kuat dan dalam keadaan lemah, dan tergantung pada kondisi aliansi itu sendiri dan kondisi masing-masing pemerintahan.
Akan tetapi berdasarkan dalil-dalil yang ada pula kita dapat menghukumi sebagian bentuk aliansi yang ada saat ini sebagai aliansi yang telah masuk ke dalam wilayah yang terlarang dan diharamkan. Diantara contohnya:
1. Aliansi yang menurut dugaan yang kuat akan memberi kesempatan kepada musuh-musuh Islam untuk memberangus gerakan Islam, yaitu apabila telah jelas kekuatan mereka dan kedengkian mereka terhadap Islam dan bahwasanya mereka akan memanfaatkan aliansi dengan para aktivis Islam untuk menghancurkan musuh mereka yang lain baru kemudian menghancurkan kaum muslimin setelah itu. Bahkan Islam telah mengharamkan apa yang lebih kecil dari itu dalam tataran kejamaahan apabila ada dugaan kuat akan terjadinya hal tersebut.
2. Aliansi politik dan konsep yang mendorong para aktivis Islam untuk menerima konsep yang tidak Islami atau mengakui aqidah yang batil dari aqidah-aqidah kekafiran atau sebagian darinya dengan alasan maslahat.
3. Aliansi yang menyebabkan pecahnya barisan kaum muslimin dan melahirkan perselisihan diantara mereka sehingga peperangan justru berpindah ke dalam barisan kaum muslimin sendiri. Allah Ta’ala berfirman :
{وَلا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا
مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُوْلَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ
عَظِيمٌ}
“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat”. (QS. Ali Imran: 105) [21]
Sebagai penutup, tidak diragukan lagi bahwa masalah persekutuan ini termasuk diantara masalah-masalah yang sangat penting yang sudah selayaknya untuk dibahas dan ditetapkan hukumnya dalam kondisi yang berbeda-beda secara bersama-sama oleh lembaga-lembaga syariah politik Islam yang berpengalaman dalam pemerintahan atau pergerakan Islam di atas prinsip-prinsip siyasah syar’iyah / politik Islam dan kemaslahatan terbesar bagi Islam dan kaum muslimin.
[2] Biasanya para ulama membahas masalah ini dalam kitab jihad pada bab tentang meminta pertolongan orang musyrik. Untuk mengetahui lebih dalam tentang pendapat para ulama dalam masalah ini serta dalil-dalil mereka silahkan lihat kitab “al-Musyarakah al-Siyasiah / Kontribusi dalam Dunia Politik” karya Musyir Al Mishry dan kitab “al-Ta'addiyah al-Siyasiah / Poligami Politik” karya Shalah Ash Shawy.
[3] Diriwayatkan oleh Ahmad, No. 1676), juga terdapat dalam Sirah Ibnu Hisyam, Juz I, hal. 134. Dan perjanjian ini dihadiri oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam– sebelum beliau mendakwahkan Islam – bersama sekelompok orang-orang musyrik dimana mereka mengikat perjanjian dan sumpah setia untuk melawan kezhaliman dan menolong orang yang terzhalimi.
[4] Sirah Ibn Hisyam, Juz II, hal. 317.
[5] Fathul Bari, Juz V, hal. 338.
[6] Lihat:al-Bidyah waal-Nihayah, Juz III, hal. 84;Sirah Ibnu Hisyam, Juz II, hal. 195.
[7] al-Bidyah waal-Nihayah, Juz III, hal. 225.
[8] Lihat penjelasan Ibnu Jarir rahimahullah tentang ayat ini dalam tafsirnya, Juz VI, hal. 277. Dan Ibnul Qayyim rahimahullah dalamAhkam Ahl al-Dzimmah,Juz I, hal. 195.
[9] Lihat: Tafsir al-Thabary, Juz VI, hal. 277.
[10] Fathul Bari, Juz X, hal. 501.
[11] An-Nawawi,Syarh Sahih Muslim, Juz XVI, hal. 81.
[12] Fathul Bari, Juz X, hal. 502.
[13] Ibn al-Qayyim,Zaad al-Ma’aad, Juz III, hal. 269.
[14] Qawaid al-Ahkam, Juz I, hal. 87.
[15] Ibid, Juz I, hal. 129.
[16] Majmu’ al-Fatawa, Juz XIX, hal. 218.
[17] Ibid, Juz XXX, hal. 256.
[18] Fathul Bari, Juz V, hal. 338.
[19] Al-Syarbini,Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifah Ma’ani Alfazh al-Minhaj, Juz IV, hal. 221.
[20] Disadur dari penjelasan Dr. Shalah ash-Shawy dalam bukunya “al-Ta'addiah al-Siyasiah / Poligami Politik” hal. 150
[21] Diringkas dari kitab “al-Tahalufat al-Siyasiah / Aliansi Politik” karya Munir Muhammad Al Ghadhban, hal 173-174
[albayan]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar