RUKUN PERTAMA:
BERIMAN KEPADA ALLAH
SUBHANAHU WATAALA
Mewujudkan iman kepada Allah
Seseorang tidak dianggap
beriman kepada Allah
sehingga meyakini hal-hal berikut ini:
Pertama : Meyakini bahwa hanya Allah subhanahu wataala satu-satu-Nya pencipta alam mayapada ini, menguasai, mengatur, mengurus segala sesuatu didalamnya, memberi rizki, kuasa, menjadikan,
mematikan, menghidupkan dan yang mendatangkan manfaat serta madharat. Dia berbuat segala sesuatu sesuai dengan kehendak-Nya, menghukum sesuai dengan kehendak-Nya, memuliakan siapa yang dikendaki-Nya dan menghinakan siapa saja yang dikendaki-Nya, ditangan-Nya semua kekuasaan langit dan bumi, Maha Kuasa atas segala sesuatu, Maha Mengetahui segala sesuatu, tidak butuh kepada siapapun, bagi-Nya segala urusan, Di
tangan-Nya semua kebaikan, tidak ada sekutu bagi-Nya, tidak
satupun yang bisa menghalangi-Nya. Semua makhluk baik malaikat, jin, manusia adalah hamba-Nya, semuanya dibawah kekuasaan, ketetapan dan kehendak-Nya, perbuatan-perbuatanNya tidak terhitung dan terhingga. Semua kekhususan tersebut hanya
dimiliki oleh Allah subhanahu wataala, tidak ada sekutu
bagi-Nya, tidak ada yang berhak memiliki sifat-sifat tersebut
selain- Nya, dan tidak boleh menisbatkan dan menetapkan
salah satu sifat-sifat tersebut kepada siapapun
selain-Nya.
Allah berfirman:
“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu
dan orang-orang sebelummu agar kamu bertaqwa, Dialah yang menjadikan bumi
sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap dan Dia menurunkan air (hujan)
dari langit lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala tumbuh-tumbuhan
sebagai rezki untukmu.” (Al-Baqarah:21-22).
Dan dalam ayat lain:
“Katakanlah! wahai Tuhan yang mempunyai
kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau
cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang
Engkau kehendaki dan Engaku
hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala
kebajikan. Sesungguhnya Engkau
maha kuasa atas segala sesuatu.” (Ali Imron:26).
Dan Allah berfirman:
“Dan tidak ada satupun binatang melata di bumi melainkan Allah lah
yang memberi rezkinya dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan
tempat menyimpannya. Semua
tertulis dalam kitab yang nyata (lauh mahfudz).” (Hud:6).
Kedua : Meyakini bahwa hanya Allah subhanahu wataala satu-satunya yang memiliki nama-nama yang paling agung dan sifat-sifat
yang paling sempurna, yang sebagiannya telah Allah jelaskan, baik dalam
Al-Qur’an maupun sunah Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman:
“Hanya milik Allah asmaul husna (nama-nama
yang agung), maka mohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaul husna itu dan
tinggalkanlah orang-orang yang meyimpang dari kebenaran dalam menyebut
nama-nama- Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka
kerjakan.” (Al-A’raf: 180).
Dan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah memiliki sembilan
puluh sembilan nama, barangsiapa menghitungnya, maka akan masuk surga dan Allah
itu witir (ganjil) dan menyukai halhal yang (berjumlah) ganjil.” (Muttafaq alaih).
Keyakinan ini dibangun di atas dua unsur pokok:
1. Sesungguhnya Allah memiliki nama-nama yang mulia dan
sifat-sifat yang agung lagi sempurna, tidak ada sedikitpun kekurangan, dan
tidak ada satupun makhluk yang menyerupai dan menyukutui-Nya dalam sifat-sifat
tersebut. Dan diantara nama-nama Allah itu; Al-Hayyu (Yang Maha Hidup), maka Allah memiliki sifat Al-Hayat (hidup) yang wajib ditetapkan kepada-Nya secara sempurna dan layak. Yaitu hidup yang sempurna, lagi abadi, yang terhimpun pada-Nya berbagai macam kesempurnaan, seperti berilmu, berkuasa dan lainnya. Hidup-Nya tidak ada permulaan dan tidak ada kesudahan. Allah subhanahu wataala berfirman:
“Allah tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia yang
hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk
dan tidak tidur.” (Al-Baqarah:255).
2. Sesungguhnya Allah subhanahu wataala mutlak suci dari segala sifat kekurangan dan sifat
cacat, seperti; tidur, lemah, bodoh, dzalim dan lain-lain, sebagaimana Dia maha
suci dari menyerupai semua makhluk. Maka kita wajib menafikan segala sifat yang
telah Allah nafikan dari diri-Nya dan yang dinafikan oleh Rasulullah, serta
meyakini bahwa Allah memiliki sifat kesempurnaan, kebalikan dari apa yang telah
dinafikanNya. Sebagai contoh: Ketika kita menafikan dari Allah sifat mengantuk berarti kita menetapkan bagi-Nya kesempurnaan sifat berdiri sendiri. Menafikan sifat tidur dari-Nya berarti menetapkan bagi-Nya kesempurnaan sifat hidup. Maka setiap kita menafikan satu sifat dari Allah, berarti kita menetapkan bagi-Nya kesempurnaan sebaliknya. Dialah yang maha sempurna, tidak ada kekurangan padaNya.
Allah berfirman:
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang maha
mendengar lagi maha melihat.” (Asy-Syuro: 11).
Dan firman-Nya:
“Dan sekali-kali tidaklah Tuhanmu menganiaya hamba-hamba-Nya.”
(Fushshilat:46)
Dan firman-Nya :
“Dan tidak ada suatupun yang dapat melemahkan Allah baik di langit
maupun di bumi.” (Fathir:64).
“Dan tidaklah Tuhanmu lupa” (Maryam: 64).
Beriman dengan nama-nama Allah dan sifat-sifat- Nya
serta perbuatan-Nya adalah jalan yang paling tepat bagi seorang hamba untuk
mengenal Allah subhanahu wataala , hal itu karena Allah tidak nampak dari penglihatan
makhluk, maka dengan nama dan sifat-Nya seorang muslim menyembah Allah yang
maha Esa, yang segala sesuatu bergantung kepada-Nya, yang tidak beranak dan
tidak pula diperanakkan, dan tidak satupun yang serupa dengan-Nya.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam
menetapkan nama-nama
Allah:
1. Beriman dengan semua nama-nama Allah, baik yang terdapat dalam Al-Qur’an maupun sunah tanpa menambah dan mengurangi.
Allah berfirman:
“Dialah Allah yang tiada Tuhan (yang berhak disembah)
selain Dia, Raja yang maha suci, yang maha sejahtera, yang mengaruniakan
keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang
Memiliki segala keagungan, maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (Al-Hasyr:23).
Dan terdapat dalam sebuah hadits Bahwa nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam mendengar seorang laki-laki berdo’a dengan mengatakan:
“Ya Allah aku memohon kepada-Mu bahwa
hanya bagimu segala puji tidak ada Tuhan (yang patut disembah) melainkan Engkau,
Engkau yang memberi karunia, yang menciptakan langit dan bumi, Engkau yang
memiliki keagungan dan kemuliaan, yang maha kekal, yang senantiasa mengurus
hamba-Nya”, maka nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam berkata: “Tahukah
kamu dengan apa dia telah berdoa kepada Allah?” Mereka menjawab: Allah dan Rasul-Nya lebih
tahu. Nabipun berkata: “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya
dia telah berdoa kepada Allah dengan namaNya yang agung, yang mana apabila
seseorang berdo’a dengan nama-nama itu, niscaya Dia akan mengabulkan, dan
apabila seseorang meminta dengan nama itu, niscaya Dia akan memberinya.” (HR.
Abu Dawud dan Ahmad).
2. Beriman bahwa Allah sendiri yang telah menamakan diriNya
dengan nama-nama itu, tidak ada seorang makhlukpun yang memberi nama
kepada-Nya, Dialah yang memuji diri-Nya dengan nama-nama tersebut, dan nama itu
bukan muhdats (suatu yang baru) dan bukan pula makhluk.
3. Beriman bahwa nama-nama Allah yang agung tersebut
mengandung makna yang maha sempurna, tidak ada kekurangan sedikitpun pada-Nya,
dan wajib kita mengimani kandungan makna dari namanama tersebut sebagaimana
kita wajib mengimani nama-nama itu sendiri.
4. Wajib memuliakan kandungan makna dari namanama tersebut, tanpa ada menyelewangkan atau meniadakannya.
5. Beriman dengan hukum-hukum yang yang dikandung oleh setiap nama-nama tersebut, begitu pula dengan segala perbuatan dan kesan yang lahir dari nama-nama itu.
Untuk memperjelas maksud dari lima point di atas,
kita buat sebuah contoh:
i. Beriman dengan nama As-Sami’ (yang maha mendengar) sebagai salah satu dari nama-nama Allah yang agung, karena nama tersebut terdapat dalam Al- Qur’an dan sunah.
ii. Beriman bahwa Allah lah yang menamakan diri-Nya dengan nama tersebut, dan Dialah yang menuturkannya, serta menurunkannya dalam kitab- Nya.
iii. Beriman bahwa nama As-Sami’ (yang maha mendengar) mengandung makna mendengar, yang merupakan salah satu sifatNya.
iv. Wajib kita memuliakan sifat Allah “mendengar”, yang dikandung oleh namaNya As-Sami’, tanpa menyelewengkan maknanya, atau meniadakannya.
v. Beriman bahwasanya Allah subhanahu wata’ala mendengar
segala sesuatu, dan pendengarannya mencakup semua bentuk suara, ini berarti
kita harus senentiasa merasa dibawah pengawasannya, merasa takut kepadaNya,
serta benar-benar yakin bahwa tidak ada satupun yang tersembunyi dari-Nya.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam
menetapkan
sifat-sifat Allah:
1. Menetapkan semua sifat-sifat-Nya yang terdapat dalam Al-Qur’an dan sunah secara hakiki, tanpa ada penyelewengan dan penafian maknanya.
2. Keyakinan yang pasti bahwa Allah subhanahu wata’ala mempunyai sifat-sifat yang sempurna dan maha suci dari sifat-sifat kurang dan tercela.
3. Tidak menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat makhluk,
karena tidak ada sesuatupun yang menyerupai Allah subhanahu wata’ala baik dalam
sifat maupun perbuatan-Nya. Allah berfirman:
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia
dan Dialah yang maha
mendengar lagi maha melihat.” (Asy-Syuro:11.
4. Kesadaran penuh bahwa kita tidak akan mungkin mengetahui
tentang kaifiyyat (bagaimana) sifat-sifat Allah itu, karena tidak ada
yang mengetahui tentang bagaimana sifat-sifat Allah kecuali Dia, dan tidak ada jalan
bagi makhluk untuk mengetahuinya.
5. Mengimani segala yang menjadi konsekwensi dari sifat-sifat itu baik berupa hukum, atau kesan-kesan yang dilahirkan oleh beriman dengan sifat tersebut. Maka setiap sifat mengandung Ubudiyyah (penghambaan diri kepada Allah). Untuk memperjelas lima point tersebut, kita ambil
sebagai contoh sifat istiwa’ (bersemayam), wajib diperhatikan dalam menetapkannya hal-hal berikut:
a. Menetapkan sifat “Istiwa” (bersemayam) dan mengimaninya, karena sifat tersebut terdapat dalam Al-Quran dan As-sunnah. Allah berfirman:
“(Yaitu) Tuhan yang maha Rohman (pemurah),
yang bersemayam di atas
arsy.” (Thoha:٥).
b. Menetapkan sifat istiwa’ bagi Allah dengan sempurna, yang layak denganNya. Maknanya:
menetapkan bersemayamnya Allah dan tingginya diatas ‘ArsyNya secara hakiki, sesuai dengan keagungan dan kebesaran-Nya.
c. Tidak menyerupakan sifat istiwa’ Allah di atas ‘arsy dengan istiwa’nya makhluk, karena Allah tidak butuh sama sekali
kepada ‘Arsy, sedangkan bersemayamnya makhluk mengharuskan sifat butuh kepada
yang lain. Allah berfirman:
“Tidak ada suatupun yang serupa dengan Dia,
dan Dialah yang Maha
mendengar lagi Maha melihat.” (Asy-Syuro:11).
d. Menjauhkan diri dari pembicaraan tentang
bagaimana sifat bersemayamnya Allah di atas arsy, karena itu adalah
permasalahan gaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah.
e. Beriman dengan hukum dan kandungan sifat tersebut,
yaitu dengan menetapkan keagungan Allah subhanahu wata’ala, kemuliaan
dan kebesaran-Nya, yang layak denganNya, sesuai dengan tingginya Allah secara
mutlak dari semua makhluk, dan menghadapkan hati kepada ketinggianNya, seperti yang
diungkapkan dalam sujud (سبحان ربي الأعلى) “Maha suci Tuhan Yang Maha Tinggi.”
Ketiga: Keyakinan hamba bahwa Allah subhanahu wataala adalah Tuhan yang haq, Dialah satu-satunya
yang berhak untuk menerima
semua ibadah yang lahir dan batin, tidak ada sekutu bagi-Nya.
Allah berfirman:
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul
pada tiap-tiap umat
(untuk menyerukan: “Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thaghut-thaghut
itu.” (An- Nahl:36).
Dan tidak ada seorang pun dari rasul kecuali menyerukan kepada kaumnya:
“Sembahlah Allah! sekali-kali tidak ada Tuhan
bagi kamu
selain-Nya.” (Al-A’raf: ٥٩).
Dan Allah juga telah berfirman:
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali
menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya dengan menjalankan agama dengan lurus.”
(Al- Bayyinah:5).
Dalam sahih Bukhari dan Muslim, bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam berkata kepada Muadz:
“Tahukah
kamu apa hak Allah terhadap hamba- Nya dan hak hamba
terhadap Allah, Muadz
mengatakan: Allah dan Rasul-Nya lebih
tahu. Rasulullah berkata: Hak Allah atas makhluk
hendaknya mereka
menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan suatupun, adapun
hak hamba atas Allah bahwa Allah tidak
mengadzab siapa saja yang tidak menyekutukan-Nya dengan
sesuatupun.” (HR.
Bukhari dan Muslim).
Ilah (Tuhan) yang haq Dialah yang menjadi tempat bergantungnya hati para hamba, penuh dengan rasa cinta kepadaNya melebihi cinta kepada yang lain, pengharapan hanya kepada-Nya, dan meminta dan memohon pertolongan hanya kepada-Nya, serta tidak ada rasa takut dan khawatir kepada
selain-Nya.
Allah berfirman:
“Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya
Allah, Dialah (Tuhan)
yang haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah, itulah
yang batil dan sesungguhnya Allah, Dialah yang maha
tinggi lagi maha besar.” (Al-Hajj:62).
Dan inilah yang dimaksud mentauhidkan Allah dengan perbuatan hamba.
Urgensi tauhid:
1. Tauhid adalah yang pertama dan terakhir, yang
lahir
dan bathin (inti) dari agama
Islam dan merupakan misi dari setiap rasul.
2. Karena tauhid inilah Allah menciptakan makhluk, mengutus para rasul, dan menurunkan kitab-kitab. Dan karena tauhid pula manusia tergolong menjadi muslim dan kafir, bahagia dan celaka.
3. Tauhid adalah kewajiban pertama bagi seorang hamba, dan merupakan hal pertama yang
memasukkan seseorang ke dalam Islam, dan perkara terakhir manusia yang hendak meninggalkan dunia.
Memurnikan Tauhid
Yaitu Membersihkannya dan memurnikannya dari unsur-unsur syirik, bid’ah dan maksiat, dan terbagi menjadi dua: wajib dan sunah. Adapun yang wajib ada tiga hal :
1. Mensucikan tauhid dari perbuatan syirik, yang menafikan asas tauhid.
2. Mensucikan tauhid dari macam-macam bid’ah, yang menafikan kesempurnaan tauhid yang wajib, atau menafikan asas tauhid manakala bid’ah tersebut membawa kepada kekufuran.
3. Mensucikan tauhid dari bentuk-bentuk kemaksiatan yang bisa mengurangi pahala tauhid dan berpengaruh kepadanya.
Adapun yang sunah adalah perintah-perintah yang sifatnya anjuran, seperti misalnya:
a. Mewujudkan kesempurnaan tingkatan Ihsan.
b. Menggapai kesempurnaan tingkatan yakin.
c. Mewujudkan kesempurnaan sifat sabar, dengan tidak mengadu kepada selain Allah.
d. Mewujudkan kesempurnaan qanaah, dengan memohon hanya kepada Allah.
e. Menyempurnakan tingkatan tawakal, dengan meninggalkan hal-hal yang mubah yang merupakan sebab, seperti ruqyah (mantera), berobat karena tawakkal kepada Allah.
f. Mewujudkan kesempurnaan tingkatan cinta kepada Allah, dengan banyak melakukan hal-hal yang sunat sebagai bentuk pendekatan diri kepada-Nya. Maka barangsiapa telah mewujudkan tauhid sesuai dengan yang digariskan di atas dan terhindar dari
syirik
besar, maka ia akan selamat dari kekal di neraka,
dan
barangsiapa yang terhindar dari
semua bentuk syirik, besar maupun kecil serta dosa-dosa besar dan semua jenis kemaksiatan maka ia akan
selamat di dunia dan akhirat.
Allah berfirman:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa
syirik dan Dia mengampuni
segala dosa selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikendakinya.” (An-
Nisa’:40).
Dan dalam ayat lain Allah berfirman:
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur
adukkan Iman mereka
dengan kedzaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat
keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang
mendapat petunjuk.” (Al-An’am:83).
Hal-hal yang bertentangan dengan Tauhid.
Ada tiga perkara yang berlawanan dengan tauhid:
1. Syirik besar yang menafikan asas tauhid, Allah
tidak
akan mengampuninya kecuali
dengan benar-benar bertaubat. Barangsiapa mati dalam keadaan syirik kepada Allah maka ia akan kekal di neraka. Dan bentuk syirik akbar itu adalah menjadikan sekutu bagi Allah dalam ibadah. Berdo’a kepada sekutu tersebut seperti halnya berdo’a kepada Allah, bertawakal, berharap, dan takut kepadanya seperti halnya kepada Allah subhanahu wataala . Allah berfirman:
“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan
(sesuatu
dengan) Allah, maka pasti Allah akan mengharamkan
kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi
orang-orang dzalim itu seorang penolongpun.” (Al-Maidah:72).
2. Syirik kecil yang menafikan kesempurnaan tauhid, yaitu semua sarana dan jalan yang bisa mengantarkan kepada syirik besar seperti bersumpah dengan selain Allah, berbuat riya’.
3. Syirik yang tersembunyi, yaitu yang berhubungan dengan niat dan maksud seseorang. Dan bisa jadi hal itu masuk dalam syirik besar atau syirik kecil, sebagaimana sudah dijelaskan pada point satu dan dua.
Diriwayatkan dari Mahmud bin Lubaid radiallahu anhu bahwasanya rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya sesuatu yang paling saya
takutkan atas kamu adalah syirik kecil, mereka
bertanya: apa itu syirik kecil wahai rasulullah? Beliau menjawab:
Riya’.” (HR. Ahmad).
Definisi ibadah
Ibadah adalah sebuah ungkapan yang mencakup segala hal yang dicintai dan diridhai oleh Allah
baik itu
berbentuk keyakinan, amalan
hati, perbuatan anggota badan, dan segala yang mendekatkan diri kepada Allah berupa melaksanakan perintah atau meninggalkan larangan-Nya. Dan masuk dalam kategori ibadah semua apa yang disyari’atkan Allah dalam kitab-Nya atau sunnah
nabi-
Nya. Ibadah tersebut
bermacam-macam, diantaranya ibadah hati, seperti rukun Iman yang enam, rasa takut, harap, tawakal dan lain-lain, dan diantaranya ibadah lahir, seperti sholat, zakat, puasa dan haji.
Syarat-syarat sahnya ibadah
Ibadah seseorang dianggap sah manakala terpenuhi dua syarat berikut:
1. Mengikhlaskan ibadah hanya karena Allah, tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatupun, inilah makna syahadat Lailaha illallah.
Allah berfirman:
“Sesungguhnya
Kami menurunkan kepadamu kitab (Al-Qur’an) dengan (membawa) kebenaran. Maka
sembahlah Allah
dengan memurnikan ketaatan kepadaNya. Ingatlah, hanya kepunyaan
Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan
orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah
(berkata) : Kami tidak menyembah mereka melainkan
supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah
dengan sedekat-dekatnya. Sesungguhnya Allah akan
memutuskan diantara
mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya
Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta
dan sangat ingkar.” (Az-Zumar:2-3).
Dan dalam firman-Nya:
“Padahal
mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dengan menjalankan agama dengan lurus.” (Al-Bayyinah:5).
2. Mengikuti apa yang telah dibawa oleh Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam, yaitu : berbuat sesuai dengan
apa yang telah dicontohkan oleh beliau, tanpa ada menambah dan mengurangi.
Inilah makna syahadat Muhammadar Rasulullah (sesungguhnya Muhammad itu adalah utusan Allah). Allah berfirman:
“Katakanlah
: Jika kamu benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” (Ali Imran:31).
Dan dalam ayat lain Allah berfirman:
“Apa
yang dibawakan Rasul kepadamu maka terimalah dia dan apa yang
dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (Al-Hasyr:7).
Dan firman Allah:
“Maka
demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga
mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka
perselisihkan. Kemudian mereka tidak merasa keberatan
dalam hati mereka terhadap
putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”
(An- Nisa:65).
Ubudiyyah (penghambaan diri
kepada Allah)
secara sempurna tidak
akan terwujud kecuali
dengan dua hal :
1. Kesempurnaan cinta kepada Allah, yang mana seorang hamba mengedepankan cintanya kepada Allah dan cintanya kepada apa-apa yang dicintai Allah dari cinta kepada yang lainnya.
2. Kesempurnaan tunduk dan merendahkan diri kepada Allah, yang mana seorang hamba tunduk dan patuh dalam melaksanakan semua perintah dan menjauhi semua larangan-Nya.
Maka, inti dari ibadah pada dasarnya adalah hadirnya
rasa cinta, ketundukan, rendah diri, harapan, rasa takut, karena dengan itu
semua terwujudlah makna penghambaan diri kepada Allah subhanahu wataala . Dengan Ubudiyyah kepada Allah seseorang akan sampai kepada kecintaan Allah dan ridhoNya. Dan Allah
sangat mencintai hamba-Nya yang senantiasa mendekatkan diri kepada-Nya dengan
ibadah-ibadah yang wajib, dan barang siapa memperbanyak ibadahibadah sunah maka
hal itu akan lebih mendekatkan dirinya kepada Allah subhanahu wataala dan akan terangkat derajatnya di sisi-Nya. Dan
sebagai balasan-nya di akhirat dia akan dimasukkan ke surga dengan rahmat dan karunia-Nya.
Allah berfirman:
“Berdo’alah
kepada Tuhanmu dengan merendahkan diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Al-A’raf:٥٥).
Dalil-dalil dan bukti-bukti keesaan Allah
subhanahu wataala
Dalil-dalil dan bukti-bukti tentang keesaan Allah subhanahu wataala banyak sekali, siapa saja yang menggunakan akalnya
untuk memikirkan dan mengkaji bukti-bukti dan dalil-dalil itu maka akan mantap pengetahuannya
dan bertambah keyakinannya tentang keesaan Allah pada perbuatan, nama, sifat
dan uluhiyyah-Nya .
Sebagai contoh di antara bukti-bukti dan dalil tentang keesaan Allah sebagai berikut:
1. Kebesaran ciptaan alam semesta ini, dan kerapian ciptaannya serta dengan berbagai macam makhluk yang ada di dalamnya, semuanya berjalan dengan aturan yang sangat rapi, barangsiapa mengamati dan berfikir tentang itu semua, maka dia pasti yakin dengan keesaan Allah. Barangsiapa yang mengamati ciptaan langit dan bumi, matahari dan bulan, manusia
dan hewan serta semua benda-benda hidup dan mati, maka
dia pasti yakin bahwa dibalik itu semua ada sang pencipta yang maha sempurna
dalam nama, sifat dan uluhiyyah-Nya, dan ini menandakan bahwa Dialah
satu-satu-Nya yang berhak untuk disembah.
Allah berfirman:
“Dan telah kami jadikan di bumi ini gunung-gunung yang kokoh,
supaya bumi itu (tidak) goncang bersama mereka, dan telah kami jadikan pula di bumi
itu jalan-jalan yang luas, agar mereka mendapat petunjuk. Dan Kami jadikan
langit itu sebagai atap yang terpelihara sedang mereka
berpaling dari segala tanda-tanda (kekuasaan Allah) yang
terdapat padanya. Dan Dialah
yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan,
masing-
masing dari keduanya itu beredar di dalam
garis edarannya.”
(Al-Anbiya’:32-33).
Dan dalam ayat yang lain:
“Dan
di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit
dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya
pada yang demikian itu
benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.” (Ar-Rum:22).
2. Kedatangan para rasul yang telah diutus oleh Allah
dengan membawa syari’ah (hukum) dan dikuatkan dengan mu’jizat, itu semua
sebagai bukti keesaan Allah dan Dialah yang berhak untuk disembah. Syari’at
yang diturunkan, yang berisi hukum-hukum untuk makhluk adalah bukti nyata bahwa
itu semua datang dari Tuhan yang Maha bijaksana, Maha mengetahui dengan apa
yang diciptakannya, dan Maha Tahu tentang kemaslahatan makhluk-Nya. Allah
berfirman:
“Sesungguhnya Kami
telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti yang nyata dan telah Kami
turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan
keadilan.” (Al-Hadid:25).
Dan firman-Nya:
“Katakanlah
sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa dengan
Al- Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia,
sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain.” (Al-Isro’:88).
3. Fitrah yang telah ditetapkan oleh Allah pada hati setiap manusia, berupa pengakuan tentang keesaan Allah subhanahu wataala . Hal itu ada dalam setiap diri manusia, sebagai buktinya: apabila seseorang sedang ditimpa musibah, maka dengan sendirinya ia kembali dan pasrah kepada Allah. Seandainya manusia
itu bebas dari syubhat-syubhat dan hawa nafsu yang telah merobah fitrahnya,
maka dia tidak akan dapatkan dalam dirinya kecuali pengakuan dengan keesaan
Allah pada uluhiyyah, nama, sifat dan perbuatan-Nya, serta menyerah dan
menerima syariah yang dibawa oleh para rasulNya. Allah berfirman:
“Maka
hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah)
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia
menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama
yang lurus tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui. Dengan kembali bertaubat
kepada-Nya dan bertawakallah kepada-Nya serta dirikanlah
sholat
dan janganlah kamu termasuk orang-orang
yang mempersekutukan
Allah.” (Ar-Rum:30-31).
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan
fitrah (suci) maka kedua orang tuanya yang menjadikan dia Yahudi, Nasrani atau
Majusi. Sebagaimana binatang melahirkan anaknya secara sempurna, maka apakah kamu lihat
pada hidungnya cacat? (cacat yang ada setelah lahir adalah akibat ulah
pemiliknya) kemudian beliau membaca: ( فطرة الله التي فطر
الناس عليه )”. (HR. Bukhori).
Terkait:
BERIMAN KEPADA MALAIKAT, RUKUN IMAN KE DUA
BERIMAN DENGAN KITAB-KITAB ALLAH, RUKUN IMAN KETIGA
BERIMAN KEPADA RASUL-RASUL, RUKUN IMAN KEEMPAT
RUKUN IMAN
BERIMAN KEPADA MALAIKAT, RUKUN IMAN KE DUA
BERIMAN DENGAN KITAB-KITAB ALLAH, RUKUN IMAN KETIGA
BERIMAN KEPADA RASUL-RASUL, RUKUN IMAN KEEMPAT
RUKUN IMAN
Disusun oleh :
Tim Riset dan kajian ilmiah
Universitas Islam Madinah (Bahasa Indonesia)
Diterjemahkan oleh :
Mawardi Muhammad Saleh
Madinah 1424 H.
أركان الإيمان باللغة الإندونيسية
Tidak ada komentar:
Posting Komentar