Rabu, 26 April 2017
Syarat dan Rukun puasa
Syarat Wajib Puasa[1]
Syarat wajibnya puasa
yaitu: (1) islam, (2) berakal, (3) sudah baligh[2], dan (4) mengetahui akan wajibnya puasa.[3]
Syarat Wajibnya Penunaian Puasa[4]
Syarat wajib penunaian
puasa, artinya ketika ia mendapati waktu tertentu, maka ia dikenakan kewajiban
puasa. Syarat yang dimaksud adalah sebagai berikut.
(1) Sehat, tidak dalam
keadaan sakit.
(2) Menetap, tidak dalam
keadaan bersafar. Dalil kedua syarat ini adalah firman Allah Ta’ala,
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ
أُخَرَ
“Dan barangsiapa yang
dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah
baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang
lain” (QS. Al Baqarah: 185). Kedua syarat ini termasuk dalam syarat wajib
penunaian puasa dan bukan syarat sahnya puasa dan bukan syarat wajibnya qodho’
puasa. Karena syarat wajib penunaian puasa di sini gugur pada orang yang sakit
dan orang yang bersafar. Ketika mereka tidak berpuasa saat itu, barulah mereka
qodho’ berdasarkan kesepakatan para ulama. Namun jika mereka tetap berpuasa
dalam keadaan demikian, puasa mereka tetap sah.
(3) Suci dari haidh dan
nifas. Dalilnya adalah hadits dari Mu’adzah, ia pernah bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha. Hadits tersebut adalah,
عَنْ مُعَاذَةَ قَالَتْ سَأَلْتُ عَائِشَةَ فَقُلْتُ مَا بَالُ
الْحَائِضِ تَقْضِى الصَّوْمَ وَلاَ تَقْضِى الصَّلاَةَ فَقَالَتْ أَحَرُورِيَّةٌ
أَنْتِ قُلْتُ لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ وَلَكِنِّى أَسْأَلُ. قَالَتْ كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ
فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ.
Dari Mu’adzah dia
berkata, “Saya bertanya kepada Aisyah seraya berkata, ‘Kenapa gerangan
wanita yang haid mengqadha’ puasa dan tidak mengqadha’ shalat?’ Maka Aisyah
menjawab, ‘Apakah kamu dari golongan Haruriyah? ‘ Aku menjawab, ‘Aku bukan
Haruriyah, akan tetapi aku hanya bertanya.’ Dia menjawab, ‘Kami dahulu juga
mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan
untuk mengqadha’ shalat’.”[5] Berdasarkan kesepakatan para ulama pula,
wanita yang dalam keadaan haidh dan nifas tidak wajib puasa dan wajib
mengqodho’ puasanya.[6]
Syarat Sahnya Puasa
Syarat sahnya puasa ada
dua, yaitu:[7]
(1) Dalam keadaan suci
dari haidh dan nifas. Syarat ini adalah syarat terkena kewajiban puasa dan
sekaligus syarat sahnya puasa.
(2) Berniat. Niat
merupakan syarat sah puasa karena puasa adalah ibadah sedangkan ibadah tidaklah
sah kecuali dengan niat sebagaimana ibadah yang lain. Dalil dari hal ini adalah
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya setiap
amal itu tergantung dari niatnya.”[8]
Niat puasa ini harus
dilakukan untuk membedakan dengan menahan lapar lainnya. Menahan lapar bisa
jadi hanya sekedar kebiasaan, dalam rangka diet, atau karena sakit sehingga
harus dibedakan dengan puasa yang merupakan ibadah.
Namun, para pembaca
sekalian perlu ketahui bahwasanya niat tersebut bukanlah diucapkan
(dilafadzkan). Karena yang dimaksud niat adalah kehendak untuk melakukan
sesuatu dan niat letaknya di hati[9]. Semoga Allah merahmati An Nawawi rahimahullah
–ulama besar dalam Syafi’iyah- yang mengatakan,
لَا يَصِحُّ الصَّوْمَ إِلَّا بِالنِّيَّةِ وَمَحَلُّهَا القَلْبُ
وَلَا يُشْتَرَطُ النُّطْقُ بِلاَ خِلَافٍ
“Tidaklah sah puasa
seseorang kecuali dengan niat. Letak niat adalah dalam hati, tidak disyaratkan
untuk diucapkan. Masalah ini tidak terdapat perselisihan di antara para ulama.”[10]
Ulama Syafi’iyah
lainnya, Asy Syarbini rahimahullah mengatakan,
وَمَحَلُّهَا الْقَلْبُ ، وَلَا تَكْفِي بِاللِّسَانِ قَطْعًا ،
وَلَا يُشْتَرَطُ التَّلَفُّظُ بِهَا قَطْعًا كَمَا قَالَهُ فِي الرَّوْضَةِ
“Niat letaknya dalam
hati dan tidak perlu sama sekali dilafazhkan. Niat sama sekali tidakk
disyaratkan untuk dilafazhkan sebagaimana ditegaskan oleh An Nawawi dalam Ar
Roudhoh.”[11]
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah mengatakan,
وَالنِّيَّةُ مَحَلُّهَا الْقَلْبُ بِاتِّفَاقِ الْعُلَمَاءِ ؛
فَإِنْ نَوَى بِقَلْبِهِ وَلَمْ يَتَكَلَّمْ بِلِسَانِهِ أَجْزَأَتْهُ النِّيَّةُ
بِاتِّفَاقِهِمْ
“Niat itu letaknya di
hati berdasarkan kesepakatan ulama. Jika seseorang berniat di hatinya tanpa ia
lafazhkan dengan lisannya, maka niatnya sudah dianggap sah berdasarkan
kesepakatan para ulama.”[12]
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah menjelaskan pula, “Siapa saja yang menginginkan melakukan sesuatu,
maka secara pasti ia telah berniat. Semisal di hadapannya disodorkan makanan,
lalu ia punya keinginan untuk menyantapnya, maka ketika itu pasti ia telah
berniat. Demikian ketika ia ingin berkendaraan atau melakukan perbuatan
lainnya. Bahkan jika seseorang dibebani suatu amalan lantas dikatakan tidak
berniat, maka sungguh ini adalah pembebanan yang mustahil dilakukan. Karena
setiap orang yang hendak melakukan suatu amalan yang disyariatkan atau tidak
disyariatkan pasti ilmunya telah mendahuluinya dalam hatinya, inilah yang
namanya niat.”[13]
Wajib Berniat Sebelum Fajar[14]
Dalilnya adalah hadits
dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma dari Hafshoh –istri Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam-, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ لَمْ يُجْمِعِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ
“Barangsiapa siapa
yang tidak berniat sebelum fajar, maka puasanya tidak sah.”[15]
Syarat ini adalah syarat puasa wajib menurut ulama Malikiyah,
Syafi’iyah dan Hambali. Yang dimaksud dengan berniat di setiap malam adalah
mulai dari tenggelam matahari hingga terbit fajar.[16]
Adapun dalam puasa
sunnah boleh berniat setelah terbit fajar menurut mayoritas ulama. Hal ini
dapat dilihat dari perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalil
masalah ini adalah hadits ‘Aisyah berikut ini. ‘Aisyah berkata,
دَخَلَ عَلَىَّ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- ذَاتَ يَوْمٍ
فَقَالَ « هَلْ عِنْدَكُمْ شَىْءٌ ». فَقُلْنَا لاَ. قَالَ « فَإِنِّى إِذًا صَائِمٌ ». ثُمَّ
أَتَانَا يَوْمًا آخَرَ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أُهْدِىَ لَنَا حَيْسٌ.
فَقَالَ « أَرِينِيهِ فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ صَائِمًا ». فَأَكَلَ.
“Pada suatu hari,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menemuiku dan bertanya, “Apakah kamu
mempunyai makanan?” Kami menjawab, “Tidak ada.” Beliau berkata, “Kalau begitu,
saya akan berpuasa.” Kemudian beliau datang lagi pada hari yang lain dan kami
berkata, “Wahai Rasulullah, kita telah diberi hadiah berupa Hais (makanan yang
terbuat dari kurma, samin dan keju).” Maka beliau pun berkata, “Bawalah kemari,
sesungguhnya dari tadi pagi tadi aku berpuasa.”[17] An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ini
adalah dalil bagi mayoritas ulama, bahwa boleh berniat di siang hari sebelum
waktu zawal (matahari bergeser ke barat) pada puasa sunnah.”[18] Di sini disyaratkan bolehnya niat di siang
hari yaitu sebelum niat belum melakukan pembatal puasa. Jika ia sudah melakukan
pembatal sebelum niat (di siang hari), maka puasanya tidak sah. Hal ini tidak
ada perselisihan di dalamnya.[19]
Niat ini harus
diperbaharui setiap harinya. Karena puasa setiap hari di bulan Ramadhan
masing-masing hari berdiri sendiri, tidak berkaitan satu dan lainnya, dan tidak
pula puasa di satu hari merusak puasa hari lainnya. Hal ini berbeda dengan
raka’at dalam shalat.[20]
Niat puasa Ramadhan
harus ditegaskan (jazm) bahwa akan berniat puasa Ramadhan. Jadi, tidak boleh
seseorang berniat dalam keadaan ragu-ragu, semisal ia katakan, “Jika besok
tanggal 1 Ramadhan, berarti saya tunaikan puasa wajib. Jika bukan 1 Ramadhan,
saya niatkan puasa sunnah”. Niat semacam ini tidak dibolehkan karena ia tidak
menegaskan niat puasanya.[21] Niat itu pun harus dikhususkan (dita’yin)
untuk puasa Ramadhan saja tidak boleh untuk puasa lainnya.[22]
Rukun Puasa
Berdasarkan kesepakatan
para ulama, rukun puasa adalah menahan diri dari berbagai pembatal puasa mulai
dari terbit fajar (yaitu fajar shodiq) hingga terbenamnya matahari[23]. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ
مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى
اللَّيْلِ
“Dan makan minumlah
hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian
sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al Baqarah: 187).
Yang dimaksud dari ayat adalah, terangnya siang dan gelapnya malam dan bukan
yang dimaksud benang secara hakiki.
Dari ‘Adi bin Hatim
ketika turun surat Al Baqarah ayat 187, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata padanya,
إِنَّمَا ذَاكَ بَيَاضُ النَّهَارِ مِنْ سَوَادِ اللَّيْلِ
“Yang dimaksud adalah
terangnya siang dari gelapnya malam”[24]. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengatakan seperti itu pada ‘Adi bin Hatim karena sebelumnya ia mengambil dua
benang hitam dan putih. Lalu ia menanti kapan muncul benang putih dari benang
hitam, namun ternyata tidak kunjung nampak. Lantas ia menceritakan hal tersebut
pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau pun
menertawai kelakukan ‘Adi bin Hatim.[25]
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
[1] Disebut dengan syarat wujub shoum.
[2] Tanda baligh adalah: (1) Ihtilam, yaitu
keluarnya mani dalam keadaan sadar atau saat mimpi; (2) Tumbuhnya bulu
kemaluan; atau (3) Dua tanda yang khusus pada wanita adalah haidh dan hamil.
(Lihat Al Mawsua’ah Al Fiqhiyah, 2/3005-3008).
Sebagian fuqoha
menyatakan bahwa diperintahkan bagi anak yang sudah menginjak usia tujuh tahun
untuk berpuasa jika ia mampu sebagaimana mereka diperintahkan untuk shalat.
Jika ia sudah berusia 10 tahun dan meninggalkannya –padahal mampu-, maka
hendaklah ia dipukul. (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/ 9916)
[3] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/ 9916.
[4] Disebut dengan syarat wujubul adaa’ shoum.
[5] HR. Muslim no. 335.
[6] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/ 9916-9917.
[7] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/ 97 dan Al
Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/ 9917.
[8] HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907, dari
‘Umar bin Al Khottob.
[9] Niat tidak perlu dilafazhkan dengan “nawaitu
shouma ghodin …”. Jika seseorang makan sahur, pasti ia sudah niat dalam
hatinya bahwa ia akan puasa. Agama ini sungguh tidak mempersulit umatnya.
[10] Rowdhotuth Tholibin, 1/268.
[11] Mughnil Muhtaj, 1/620.
[12] Majmu’ Al Fatawa, 18/262.
[13] Idem.
[14] Yang dimaksudkan adalah masuk waktu shubuh.
[15] HR. Abu Daud no. 2454, Tirmidzi no. 730, dan
Nasa’i no. 2333.
Asy Syaukani
rahimahullah mengatakan, “Riwayat yang menyatakan bahwa hadits ini mauquf
(hanya perkataan sahabat) tidak menafikan riwayat di atas. Karena riwayat
marfu’ adalah ziyadah (tambahan) yang bisa diterima sebagaimana dikatakan oleh
ahli ilmu ushul dan ahli hadits. Pendapat seperti ini pun dipilih oleh
sekelompok ulama, namun diselisihi oleh yang lainnya. Ulama yang menyelisihi
tersebut berdalil tanpa argumen yang kuat” (Ar Roudhotun Nadiyah, hal. 323).
Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Irwaul Gholil 914 (4/26).
[16] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/9919.
[17] HR. Muslim no. 1154.
[18] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/35.
[19] Lihat Kasyaful Qona’ ‘an Matn Al Iqna’,
6/32.
[20] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/9922.
[21] Inilah pendapat ulama Syafi’iyah dan
Hanabilah. Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/9918.
[22] Ini pendapat jumhur (mayoritas ulama). Lihat
Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/9918.
[23] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/9915.
[24] HR. Tirmidzi no. 2970, beliau mengatakan
bahwa hadits ini hasan shahih.
[25] HR. Ahmad, 4/377. Shahih sebagaimana
dikatakan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth
Selasa, 25 April 2017
Bahgia Sambut Bulan Ramadhan
Saya sampaikan salam dan selamat kepada Anda semua, yang tengah berada di akhir Sya’ban ini. Semoga Allah menyampaikan kita semua di bulan Ramadhan yang sebentar lagi akan datang. Tamu agung itu begitu mulia membawa berbagai kebaikan dan keberkahan, menjanjikan ampunan dan rahmat bagi yang menyambutnya dan berinteraksi dengannya dengan penuh keimanan dan harapan kepada Allah. Amal perbuatan dilipat-gandakan pahalanya dan dosa-dosa diampuni. Doa dan munajat didengar dan dikabulkan Allah. Bahkan, padanya terdapat satu malam yang lebih baik daripada seribu bulan.
Terdapat dua sikap orang dalam
menyambut dan menghadapi bulan penuh keberkahan ini. Pertama, orang yang
bergembira dan penuh antusias serta suka cita dalam menyambut bulan
Ramadhan. Karena baginya, bulan Ramadhan adalah kesempatan yang Allah
anugerahkan kepada siapa yang dikehendaki untuk menambah bekal spiritual
dan bertaubat dari semua dosa dan kesalahan. Ramadhan baginya adalah
bulan bonus dimana Allah melipatgandakan pahala amal kebaikan. Maka
segala sesuatunya dipersiapkan untuk menyambut dan mengisinya. Baik
mental, ilmu, fisik, dan spiritual. Bahagia, karena di bulan terdapat
janji dijauhkannya seseorang dari api neraka. Dan itu merupakan
kemenangan yang membahagiakan. Firman Allah,
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. dan Sesungguhnya pada hari kiamat
sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan
dimasukkan ke dalam surga, Maka sungguh ia telah beruntung. kehidupan
dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (Ali Imran: 185)
Sedangkan
yang kedua adalah menyambutnya dengan sikap yang dingin. Tidak ada
suka-cita dan bahagia. Baginya, Ramadhan tidak ada ubahnya dengan
bulan-bulan lain. Orang seperti ini tidak bisa memanfaatkan Ramadhan
untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah. Dosa dan
kesalahan tidak membuatnya risau dan gelisah hingga tak ada upaya
maksimal untuk menghapusnya dan menjadikan Ramadhan sebagai momen untuk
kembali kepada Allah.
Bahkan, ia sambut
bulan Ramadhan dengan kebencian. Sebab bulan suci ini hanya akan
menghambatnya melakukan dosa dan kemaksiatan, sebagaimana yang
dilakukannya di bulan-bulan lain. Hatinya tertutup dan penuh benci
kepada kebaikan. Menyaksikan kaum Muslimin berlomba-lomba dalam
kebaikan, mengisi hari-hari mereka dengan ibadah adalah pemandangan yang
tidak disukainya. Dan syetan telah menghembuskan kebencian dalam
hatinya hingga Ramadhan bagai neraka baginya. Semoga kita dijauhkan dari
sikap dan sifat ini.
Allah berfirman,
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahanam) kebanyakan dari jin
dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk
memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak
dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka
mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar
(ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka
lebih sesat lagi. Mereka Itulah orang-orang yang lalai.” (Al-A’raf: 179)
Ia
tidak menggunakan akal dan hatinya untuk mencerna kebaikan yang berguna
bagi kehidupannya. Padahal pada tradisi setiap masyarakat hari-hari
tertentu atau bulan-bulan tertentu yang memiliki keistimewaan di banding
hari dan bulan yang lain. Sebagaimana pada masyarakat jahiliyah sebelum
Islam terdapat Yaumul ‘Afwi (Hari Pengampunan) bagi para
pembesar Quraisy. Sebagaimana Nu’man bin Al-Mundzir, ia memiliki Hari
Pengampunan. Pada hari tersebut kaumnya datang kepadanya untuk
mendapatkan ampunan darinya. Maka ia mengampuni mereka yang salah,
membebaskan tawanan, memberikan amnesti, dan membebaskan kaumnya dari
membayar pajak.
Rasulullah menyambut
bulan Ramadhan penuh perasaan bahagian dan suka-cita. Beliau ingatkan
para sahabat agar menyiapkan diri mereka untuk menyambut dan mengisinya
dengan amal. Diriwayatkan oleh Salman Al-Farisi bahwa Rasulullah
berceramah di harapan para sahabat di akhir Sya’ban, beliau bersabda,
“Wahai
sekalian manusia. Kalian akan dinaungi oleh bulan yang agung nan penuh
berkah. Padanya terdapat satu malam yang lebih baik daripada seribu
malam. Allah menjadikan puasa
di bulan itu sebagai kewajiban dan qiyamnya sebagai perbuatan sunnah.
Siapa yang mendekatkan diri kepada-Nya dengan amal kebaikan seolah-olah
ia telah melakukan kewajiban di bulan lain. Dan barangsiapa melakukan
kewajiban pada bulan itu maka ia seolah telah melakukan tujuh puluh
kewajiban di bulan lain. Ia adalah bulan kesabaran dan kesabaran itu
adalah jalan menuju surga. Ia adalah bulan keteladanan dan bulan dimana
rezki dimudahkan bagi orang mukmin. Siapa memberi buka kepada orang yang
berpuasa maka ia mendapatkan ampunan atas dosa-dosanya dan lehernya
diselamatkan dari api neraka. Ia juga mendapatkan pahalanya tanpa
mengurangi pahala orang itu sedikit pun.” Sahabat bertanya, “Ya
Rasulullah, tidak semua kita bisa memberi buka bagi orang puasa.”
Rasulullah menjawab, “Allah memberi pahala yang sama kepada orang yang
memberi buka walau sekadar kurma dan seteguk air atau seteguk air susu.
Ia adalah bulan dimana permulaannya rahmat, pertengahannya ampunan, dan
ujungnya diselamatkannya seseorang dari neraka. Barangsiapa meringankan
budaknya Allah mengampuninya dan membebaskannya dari neraka.
Perbanyaklah kalian melakukan empat hal: dua hal pertama Allah ridha
kepada kalian, yaitu mengucapkan syahadat tiada ilah selain Allah dan
meminta ampunan kepada-Nya. Sedangkan hal berikutnya adalah yang kalian
pasti membutuhkannya; yaitu agar kalian meminta surga kepada Allah dan
berlindung kepada-Nya dari neraka. Barangsiapa memberi minum orang
berpuasa maka Allah akan memberinya minum dari telagaku yang tidak akan
pernah haus sampai dia masuk ke dalam surga.” (Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban)
Para
sahabat dan salafus-shalih pun senantiasa menyambut bulan Ramadhan
dengan bahagia dan persiapan mental dan spiritual. Diriwayatkan bahwa
Umar bin Khatthab menyambutnya dengan menyalakan lampu-lampu penerang di
masjid-masjid untuk ibadah dan membaca Al-Qur’an. Dan konon, Umar
adalah orang pertama yang memberi penerangan di masjid-masjid. Sampai
pada zaman Ali bin Abi Thalib. Di malam pertama bulan Ramadhan ia datang
ke masjid dan mendapati masjid yang terang itu ia berkata, “Semoga
Allah menerangi kuburmu wahai Ibnul Khatthab sebagaimana engkau terangi
masjid-masjid Allah dengan Al-Qur’an.”
Diriwayatkan
Anas bin Malik bahwa para sahabat Nabi saw jika melihat bulan sabit
Sya’ban mereka serta merta meraih mushaf mereka dan membacanya. Kaum
Muslimin mengeluarkan zakat harta mereka agar yang lemah menjadi kuat
dan orang miskin mampu berpuasa di bulan Ramadhan. Para gubernur
memanggil tawanan, barangsiapa yang meski dihukum segera mereka dihukum
atau dibebaskan. Para pedagang pun bergerak untuk melunasi apa yang
menjadi tanggungannya dan meminta apa yang menjadi hak mereka. Sampai
ketika mereka melihat bulan sabit Ramadhan segera mereka mandi dan
I’tikaf.”
Banyak membaca Al-Qur’an
adalah salah satu kegiatan para salafus-shalih dalam menyiapkan diri
mereka menyambut Ramadhan. Karena Ramadhan adalah bulan dimana Al-Qur’an
diturunkan. Bersedekah dan menunaikan semua kewajiban. Juga menunaikan
semua tugas dan kewajiban sebelum datang Ramadhan. Sehingga bisa
konsentrasi penuh dalam mengisi hari-hari Ramadhan tanpa terganggu oleh
hal-hal lain di luar aktivitas ibadah di bulan suci ini.
Bukan
dengan kegiatan fisik dan materi yang mereka siapkan, namun hati, jiwa,
dan pikiran yang mereka hadapkan kepada Allah. Bukan sibuk dengan
pakaian baru dan beragama makanan untuk persiapan lebaran yang mereka
siapkan, namun semua makanan rohani dan pakaian takwa hingga mendapatkan
janji Ramadhan.
Ibnu Mas’ud Al-Ghifari menceritakan,
“سَمِعْتُ
رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ -وَأَهَلّ
رَمَضَانَ- فَقَالَ: “لَوْ يَعْلَمُ الْعِبَادُ مَا فِي رَمَضَانَ
لَتَمَنَّتْ أُمَّتِي أَنْ تَكُوْنَ السَّنَةُ كُلُّهَا
رَمَضَانَ”
“Aku
mendengar Rasulullah saw –suatu hari menjelang Ramadhan – bersabda,
“Andai para hamba mengetahui apa itu Ramadhan tentu umatku akan berharap
agar sepanjang tahun itu Ramadhan.”
Marilah
kita singsingkan lengan baju dan kencangkan ikat pinggang untuk
menyambut jenak-jenak Ramadhan yang kian saat kian mendekat. Semoga kita
disampaikan di bulan suci tersebut. Dan kita tidak tahu apakah Ramadhan
kali ini kita mendapatinya. Juga kita tidak tahu apakah ketika
mendapatinya ia menjadi Ramadhan yang terakhir bagi kita. Seperti
tahun-tahun lalu. Wallahu a’lam.
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2013/07/02/36097/cara-sahabat-menyambut-ramadhan/#ixzz4fJuAozLm
Persiapan Menyambut Ramadhan
Wahai kaum muslimin,
hendaknya kita mengetahui bahwa salah satu nikmat yang banyak disyukuri meski
oleh seorang yang lalai adalah nikmat ditundanya ajal dan sampainya kita di
bulan Ramadhan. Tentunya jika diri ini menyadari tingginya tumpukan dosa yang menggunung,
maka pastilah kita sangat berharap untuk dapat menjumpai bulan Ramadhan dan
mereguk berbagai manfaat di dalamnya.
Bersyukurlah atas nikmat
ini. Betapa Allah ta’ala senantiasa melihat kemaksiatan kita sepanjang
tahun, tetapi Dia menutupi aib kita, memaafkan dan menunda kematian kita sampai
bisa berjumpa kembali dengan Ramadhan.
Ketidaksiapan yang Berbuah Pahit
Imam Abu Bakr Az Zur’i rahimahullah
memaparkan dua perkara yang wajib kita waspadai. Salah satunya adalah [اَلتَّهَاوُنُ بِالْأَمْرِ إِذَا حَضَرَ وَقْتُهُ],
yaitu kewajiban telah datang tetapi kita tidak siap untuk menjalankannya.
Ketidaksiapan tersebut salah satu bentuk meremehkan perintah. Akibatnya pun
sangat besar, yaitu kelemahan untuk menjalankan kewajiban tersebut dan
terhalang dari ridha-Nya. Kedua dampak tersebut merupakan hukuman atas
ketidaksiapan dalam menjalankan kewajiban yang telah nampak di depan mata.[1]
Abu Bakr Az Zur’i
menyitir firman Allah ta’ala berikut,
فَإِنْ رَجَعَكَ اللَّهُ إِلَى طَائِفَةٍ مِنْهُمْ
فَاسْتَأْذَنُوكَ لِلْخُرُوجِ فَقُلْ لَنْ تَخْرُجُوا مَعِيَ أَبَدًا وَلَنْ
تُقَاتِلُوا مَعِيَ عَدُوًّا إِنَّكُمْ رَضِيتُمْ بِالْقُعُودِ أَوَّلَ مَرَّةٍ
فَاقْعُدُوا مَعَ الْخَالِفِينَ (٨٣)
“Maka jika Allah
mengembalikanmu kepada suatu golongan dari mereka, kemudian mereka minta izin
kepadamu untuk keluar (pergi berperang), Maka katakanlah: “Kamu tidak boleh
keluar bersamaku selama-lamanya dan tidak boleh memerangi musuh bersamaku.
Sesungguhnya kamu telah rela tidak pergi berperang kali yang pertama. karena
itu duduklah bersama orang-orang yang tidak ikut berperang.” (At Taubah: 83).
Renungilah ayat di atas
baik-baik! Ketahuilah, Allah ta’ala tidak menyukai keberangkatan mereka
dan Dia lemahkan mereka, karena tidak ada persiapan dan niat mereka yang tidak
lurus lagi. Namun, bila seorang bersiap untuk menunaikan suatu amal dan ia
bangkit menghadap Allah dengan kerelaan hati, maka Allah terlalu mulia untuk
menolak hamba yang datang menghadap-Nya. Berhati-hatilah dari mengalami nasib
menjadi orang yang tidak layak menjalankan perintah Allah ta’ala yang
penuh berkah. Seringnya kita mengikuti hawa nafsu, akan menyebabkan kita
tertimpa hukuman berupa tertutupnya hati dari hidayah.
Allah ta’ala
berfirman,
وَنُقَلِّبُ أَفْئِدَتَهُمْ وَأَبْصَارَهُمْ كَمَا
لَمْ يُؤْمِنُوا بِهِ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَنَذَرُهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ
(١١٠)
“Dan (begitu pula) Kami
memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman
kepadanya (Al Quran) pada permulaannya, dan Kami biarkan mereka bergelimang
dalam kesesatannya yang sangat.” (Al An’am: 110).
Persiapkan Amal Shalih dalam Menyambut Ramadhan
Bila kita menginginkan
kebebasan dari neraka di bulan Ramadhan dan ingin diterima amalnya serta
dihapus segala dosanya, maka harus ada bekal yang dipersiapkan.
Allah ta’ala
berfirman,
وَلَوْ أَرَادُوا الْخُرُوجَ لأعَدُّوا لَهُ
عُدَّةً وَلَكِنْ كَرِهَ اللَّهُ انْبِعَاثَهُمْ فَثَبَّطَهُمْ وَقِيلَ اقْعُدُوا
مَعَ الْقَاعِدِينَ (٤٦)
“Dan jika mereka mau
berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu, tetapi
Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Allah melemahkan keinginan
mereka. dan dikatakan kepada mereka: “Tinggallah kamu bersama orang-orang yang
tinggal itu.” (At Taubah: 46).
Harus ada persiapan!
Dengan demikian, tersingkaplah ketidakjujuran orang-orang yang tidak
mempersiapkan bekal untuk berangkat menyambut Ramadhan. Oleh sebab itu, dalam
ayat di atas mereka dihukum dengan berbagai bentuk kelemahan dan kehinaan
disebabkan keengganan mereka untuk melakukan persiapan
Sebagai persiapan
menyambut Ramadhan, Rasulullah memperbanyak puasa di bulan Sya’ban. ‘Aisyah radhiallahu
‘anhu berkata,
وَلَمْ أَرَهُ صَائِمًا مِنْ شَهْرٍ قَطُّ أَكْثَرَ
مِنْ صِيَامِهِ مِنْ شَعْبَانَ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ كَانَ يَصُومُ
شَعْبَانَ إِلاَّ قَلِيلاً
“Saya sama sekali belum
pernah melihat rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa dalam satu
bulan sebanyak puasa yang beliau lakukan di bulan Sya’ban, di dalamnya beliau
berpuasa sebulan penuh.”
Dalam riwayat lain, “Beliau berpuasa di bulan Sya’ban, kecuali sedikit
hari.”[2]
Beliau tidak terlihat
lebih banyak berpuasa di satu bulan melebihi puasanya di bulan Sya’ban, dan
beliau tidak menyempurnakan puasa sebulan penuh kecuali di bulan Ramadhan.
Generasi emas umat ini,
generasi salafush shalih, meeka selalu mempersiapkan diri menyambut Ramadhan
dengan sebaik-baiknya. Sebagian ulama salaf mengatakan,
كَانُوا يَدْعُوْنَ اللهَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ أَنْ
يُبَلِّغَهُمْ شَهْرَ رَمَضَانَ ثُمَّ يَدْعُوْنَ اللهَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ أَنْ
يَتَقَبَّلَهُ مِنْهُمْ
”Mereka (para sahabat)
berdo’a kepada Allah selama 6 bulan agar mereka dapat menjumpai bulan
Ramadlan.”[3]
Tindakan mereka ini
merupakan perwujudan kerinduan akan datangnya bulan Ramadhan, permohonan dan
bentuk ketawakkalan mereka kepada-Nya. Tentunya, mereka tidak hanya berdo’a,
namun persiapan menyambut Ramadhan mereka iringi dengan berbagai amal ibadah.
Abu Bakr al Warraq al
Balkhi rahimahullah mengatakan,
شهر رجب شهر للزرع و شعبان شهر السقي للزرع و
رمضان شهر حصاد الزرع
“Rajab adalah bulan
untuk menanam, Sya’ban adalah bulan untuk mengairi dan Ramadhan adalah bulan
untuk memanen.”[4]
Sebagian ulama yang lain
mengatakan,
السنة مثل الشجرة و شهر رجب أيام توريقها و شعبان
أيام تفريعها و رمضان أيام قطفها و المؤمنون قطافها جدير بمن سود صحيفته بالذنوب
أن يبيضها بالتوبة في هذا الشهر و بمن ضيع عمره في البطالة أن يغتنم فيه ما بقي من
العمر
“Waktu setahun itu
laksana sebuah pohon. Bulan Rajab adalah waktu menumbuhkan daun, Syaban adalah
waktu untuk menumbuhkan dahan, dan Ramadhan adalah bulan memanen, pemanennya
adalah kaum mukminin. (Oleh karena itu), mereka yang “menghitamkan” catatan
amal mereka hendaklah bergegas “memutihkannya” dengan taubat di bulan-bulan
ini, sedang mereka yang telah menyia-nyiakan umurnya dalam kelalaian, hendaklah
memanfaatkan sisa umur sebaik-baiknya (dengan mengerjakan ketaatan) di waktu
tesebut.”[5]
Wahai kaum muslimin,
agar buah bisa dipetik di bulan Ramadhan, harus ada benih yang disemai, dan ia
harus diairi sampai menghasilkan buah yang rimbun. Puasa, qiyamullail,
bersedekah, dan berbagai amal shalih di bulan Rajab dan Sya’ban, semua itu
untuk menanam amal shalih di bulan Rajab dan diairi di bulan Sya’ban. Tujuannya
agar kita bisa memanen kelezatan puasa dan beramal shalih di bulan Ramadhan,
karena lezatnya Ramadhan hanya bisa dirasakan dengan kesabaran, perjuangan, dan
tidak datang begitu saja. Hari-hari Ramadhan tidaklah banyak, perjalanan
hari-hari itu begitu cepat. Oleh sebab itu, harus ada persiapan yang
sebaik-baiknya.
Jangan Lupa, Perbarui Taubat!
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ
الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُون
“Setiap keturunan Adam
itu banyak melakukan dosa dan sebaik-baik orang yang berdosa adalah yang
bertaubat.”[6]
Taubat menunjukkan tanda
totalitas seorang dalam menghadapi Ramadhan. Dia ingin memasuki Ramadhan tanpa
adanya sekat-sekat penghalang yang akan memperkeruh perjalanan selama
mengarungi Ramadhan.
Allah memerintahkan para
hamba-Nya untuk bertaubat, karena taubat wajib dilakukan setiap saat. Allah ta’ala
berfirman,
وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا
الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (٣١)
“Bertaubatlah kamu
sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (An Nuur: 31).
Taubat yang dibutuhkan
bukanlah seperti taubat yang sering kita kerjakan. Kita bertaubat, lidah kita
mengucapkan, “Saya memohon ampun kepada Allah”, akan tetapi hati kita lalai,
akan tetapi setelah ucapan tersebut, dosa itu kembali terulang. Namun, yang
dibutuhkan adalah totalitas dan kejujuran taubat.
Jangan pula taubat
tersebut hanya dilakukan di bulan Ramadhan sementara di luar Ramadhan
kemaksiatan kembali digalakkan. Ingat! Ramadhan merupakan momentum ketaatan
sekaligus madrasah untuk membiasakan diri beramal shalih sehingga jiwa terdidik
untuk melaksanakan ketaatan-ketaatan di sebelas bulan lainnya.
Wahai kaum muslimin,
mari kita persiapkan diri kita dengan memperbanyak amal shalih di dua bulan
ini, Rajab dan Sya’ban, sebagai modal awal untuk mengarungi bulan Ramadhan yang
akan datang sebentar lagi.
Ya Allah mudahkanlah dan
bimbinglah kami. Amin.
Waffaqaniyallahu wa
iyyakum.
Buaran Indah, Tangerang,
24 Rajab 1431 H.
Penulis: Muhammad Nur Ichwan
Muslim
Artikel www.muslim.or.id
[1] Badai’ul Fawaid 3/699.
[2] HR. Muslim: 1156.
[3] Lathaaiful Ma’arif hal. 232
[4] Lathaaiful Ma’arif hal. 130.
[5] Lathaaiful Ma’arif hal. 130.
[6] Hasan. HR. Tirmidzi: 2499.
Langganan:
Postingan (Atom)