Syarat Wajib Puasa[1]
Syarat wajibnya puasa
yaitu: (1) islam, (2) berakal, (3) sudah baligh[2], dan (4) mengetahui akan wajibnya puasa.[3]
Syarat Wajibnya Penunaian Puasa[4]
Syarat wajib penunaian
puasa, artinya ketika ia mendapati waktu tertentu, maka ia dikenakan kewajiban
puasa. Syarat yang dimaksud adalah sebagai berikut.
(1) Sehat, tidak dalam
keadaan sakit.
(2) Menetap, tidak dalam
keadaan bersafar. Dalil kedua syarat ini adalah firman Allah Ta’ala,
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ
أُخَرَ
“Dan barangsiapa yang
dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah
baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang
lain” (QS. Al Baqarah: 185). Kedua syarat ini termasuk dalam syarat wajib
penunaian puasa dan bukan syarat sahnya puasa dan bukan syarat wajibnya qodho’
puasa. Karena syarat wajib penunaian puasa di sini gugur pada orang yang sakit
dan orang yang bersafar. Ketika mereka tidak berpuasa saat itu, barulah mereka
qodho’ berdasarkan kesepakatan para ulama. Namun jika mereka tetap berpuasa
dalam keadaan demikian, puasa mereka tetap sah.
(3) Suci dari haidh dan
nifas. Dalilnya adalah hadits dari Mu’adzah, ia pernah bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha. Hadits tersebut adalah,
عَنْ مُعَاذَةَ قَالَتْ سَأَلْتُ عَائِشَةَ فَقُلْتُ مَا بَالُ
الْحَائِضِ تَقْضِى الصَّوْمَ وَلاَ تَقْضِى الصَّلاَةَ فَقَالَتْ أَحَرُورِيَّةٌ
أَنْتِ قُلْتُ لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ وَلَكِنِّى أَسْأَلُ. قَالَتْ كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ
فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ.
Dari Mu’adzah dia
berkata, “Saya bertanya kepada Aisyah seraya berkata, ‘Kenapa gerangan
wanita yang haid mengqadha’ puasa dan tidak mengqadha’ shalat?’ Maka Aisyah
menjawab, ‘Apakah kamu dari golongan Haruriyah? ‘ Aku menjawab, ‘Aku bukan
Haruriyah, akan tetapi aku hanya bertanya.’ Dia menjawab, ‘Kami dahulu juga
mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan
untuk mengqadha’ shalat’.”[5] Berdasarkan kesepakatan para ulama pula,
wanita yang dalam keadaan haidh dan nifas tidak wajib puasa dan wajib
mengqodho’ puasanya.[6]
Syarat Sahnya Puasa
Syarat sahnya puasa ada
dua, yaitu:[7]
(1) Dalam keadaan suci
dari haidh dan nifas. Syarat ini adalah syarat terkena kewajiban puasa dan
sekaligus syarat sahnya puasa.
(2) Berniat. Niat
merupakan syarat sah puasa karena puasa adalah ibadah sedangkan ibadah tidaklah
sah kecuali dengan niat sebagaimana ibadah yang lain. Dalil dari hal ini adalah
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya setiap
amal itu tergantung dari niatnya.”[8]
Niat puasa ini harus
dilakukan untuk membedakan dengan menahan lapar lainnya. Menahan lapar bisa
jadi hanya sekedar kebiasaan, dalam rangka diet, atau karena sakit sehingga
harus dibedakan dengan puasa yang merupakan ibadah.
Namun, para pembaca
sekalian perlu ketahui bahwasanya niat tersebut bukanlah diucapkan
(dilafadzkan). Karena yang dimaksud niat adalah kehendak untuk melakukan
sesuatu dan niat letaknya di hati[9]. Semoga Allah merahmati An Nawawi rahimahullah
–ulama besar dalam Syafi’iyah- yang mengatakan,
لَا يَصِحُّ الصَّوْمَ إِلَّا بِالنِّيَّةِ وَمَحَلُّهَا القَلْبُ
وَلَا يُشْتَرَطُ النُّطْقُ بِلاَ خِلَافٍ
“Tidaklah sah puasa
seseorang kecuali dengan niat. Letak niat adalah dalam hati, tidak disyaratkan
untuk diucapkan. Masalah ini tidak terdapat perselisihan di antara para ulama.”[10]
Ulama Syafi’iyah
lainnya, Asy Syarbini rahimahullah mengatakan,
وَمَحَلُّهَا الْقَلْبُ ، وَلَا تَكْفِي بِاللِّسَانِ قَطْعًا ،
وَلَا يُشْتَرَطُ التَّلَفُّظُ بِهَا قَطْعًا كَمَا قَالَهُ فِي الرَّوْضَةِ
“Niat letaknya dalam
hati dan tidak perlu sama sekali dilafazhkan. Niat sama sekali tidakk
disyaratkan untuk dilafazhkan sebagaimana ditegaskan oleh An Nawawi dalam Ar
Roudhoh.”[11]
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah mengatakan,
وَالنِّيَّةُ مَحَلُّهَا الْقَلْبُ بِاتِّفَاقِ الْعُلَمَاءِ ؛
فَإِنْ نَوَى بِقَلْبِهِ وَلَمْ يَتَكَلَّمْ بِلِسَانِهِ أَجْزَأَتْهُ النِّيَّةُ
بِاتِّفَاقِهِمْ
“Niat itu letaknya di
hati berdasarkan kesepakatan ulama. Jika seseorang berniat di hatinya tanpa ia
lafazhkan dengan lisannya, maka niatnya sudah dianggap sah berdasarkan
kesepakatan para ulama.”[12]
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah menjelaskan pula, “Siapa saja yang menginginkan melakukan sesuatu,
maka secara pasti ia telah berniat. Semisal di hadapannya disodorkan makanan,
lalu ia punya keinginan untuk menyantapnya, maka ketika itu pasti ia telah
berniat. Demikian ketika ia ingin berkendaraan atau melakukan perbuatan
lainnya. Bahkan jika seseorang dibebani suatu amalan lantas dikatakan tidak
berniat, maka sungguh ini adalah pembebanan yang mustahil dilakukan. Karena
setiap orang yang hendak melakukan suatu amalan yang disyariatkan atau tidak
disyariatkan pasti ilmunya telah mendahuluinya dalam hatinya, inilah yang
namanya niat.”[13]
Wajib Berniat Sebelum Fajar[14]
Dalilnya adalah hadits
dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma dari Hafshoh –istri Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam-, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ لَمْ يُجْمِعِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ
“Barangsiapa siapa
yang tidak berniat sebelum fajar, maka puasanya tidak sah.”[15]
Syarat ini adalah syarat puasa wajib menurut ulama Malikiyah,
Syafi’iyah dan Hambali. Yang dimaksud dengan berniat di setiap malam adalah
mulai dari tenggelam matahari hingga terbit fajar.[16]
Adapun dalam puasa
sunnah boleh berniat setelah terbit fajar menurut mayoritas ulama. Hal ini
dapat dilihat dari perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalil
masalah ini adalah hadits ‘Aisyah berikut ini. ‘Aisyah berkata,
دَخَلَ عَلَىَّ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- ذَاتَ يَوْمٍ
فَقَالَ « هَلْ عِنْدَكُمْ شَىْءٌ ». فَقُلْنَا لاَ. قَالَ « فَإِنِّى إِذًا صَائِمٌ ». ثُمَّ
أَتَانَا يَوْمًا آخَرَ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أُهْدِىَ لَنَا حَيْسٌ.
فَقَالَ « أَرِينِيهِ فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ صَائِمًا ». فَأَكَلَ.
“Pada suatu hari,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menemuiku dan bertanya, “Apakah kamu
mempunyai makanan?” Kami menjawab, “Tidak ada.” Beliau berkata, “Kalau begitu,
saya akan berpuasa.” Kemudian beliau datang lagi pada hari yang lain dan kami
berkata, “Wahai Rasulullah, kita telah diberi hadiah berupa Hais (makanan yang
terbuat dari kurma, samin dan keju).” Maka beliau pun berkata, “Bawalah kemari,
sesungguhnya dari tadi pagi tadi aku berpuasa.”[17] An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ini
adalah dalil bagi mayoritas ulama, bahwa boleh berniat di siang hari sebelum
waktu zawal (matahari bergeser ke barat) pada puasa sunnah.”[18] Di sini disyaratkan bolehnya niat di siang
hari yaitu sebelum niat belum melakukan pembatal puasa. Jika ia sudah melakukan
pembatal sebelum niat (di siang hari), maka puasanya tidak sah. Hal ini tidak
ada perselisihan di dalamnya.[19]
Niat ini harus
diperbaharui setiap harinya. Karena puasa setiap hari di bulan Ramadhan
masing-masing hari berdiri sendiri, tidak berkaitan satu dan lainnya, dan tidak
pula puasa di satu hari merusak puasa hari lainnya. Hal ini berbeda dengan
raka’at dalam shalat.[20]
Niat puasa Ramadhan
harus ditegaskan (jazm) bahwa akan berniat puasa Ramadhan. Jadi, tidak boleh
seseorang berniat dalam keadaan ragu-ragu, semisal ia katakan, “Jika besok
tanggal 1 Ramadhan, berarti saya tunaikan puasa wajib. Jika bukan 1 Ramadhan,
saya niatkan puasa sunnah”. Niat semacam ini tidak dibolehkan karena ia tidak
menegaskan niat puasanya.[21] Niat itu pun harus dikhususkan (dita’yin)
untuk puasa Ramadhan saja tidak boleh untuk puasa lainnya.[22]
Rukun Puasa
Berdasarkan kesepakatan
para ulama, rukun puasa adalah menahan diri dari berbagai pembatal puasa mulai
dari terbit fajar (yaitu fajar shodiq) hingga terbenamnya matahari[23]. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ
مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى
اللَّيْلِ
“Dan makan minumlah
hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian
sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al Baqarah: 187).
Yang dimaksud dari ayat adalah, terangnya siang dan gelapnya malam dan bukan
yang dimaksud benang secara hakiki.
Dari ‘Adi bin Hatim
ketika turun surat Al Baqarah ayat 187, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata padanya,
إِنَّمَا ذَاكَ بَيَاضُ النَّهَارِ مِنْ سَوَادِ اللَّيْلِ
“Yang dimaksud adalah
terangnya siang dari gelapnya malam”[24]. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengatakan seperti itu pada ‘Adi bin Hatim karena sebelumnya ia mengambil dua
benang hitam dan putih. Lalu ia menanti kapan muncul benang putih dari benang
hitam, namun ternyata tidak kunjung nampak. Lantas ia menceritakan hal tersebut
pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau pun
menertawai kelakukan ‘Adi bin Hatim.[25]
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
[1] Disebut dengan syarat wujub shoum.
[2] Tanda baligh adalah: (1) Ihtilam, yaitu
keluarnya mani dalam keadaan sadar atau saat mimpi; (2) Tumbuhnya bulu
kemaluan; atau (3) Dua tanda yang khusus pada wanita adalah haidh dan hamil.
(Lihat Al Mawsua’ah Al Fiqhiyah, 2/3005-3008).
Sebagian fuqoha
menyatakan bahwa diperintahkan bagi anak yang sudah menginjak usia tujuh tahun
untuk berpuasa jika ia mampu sebagaimana mereka diperintahkan untuk shalat.
Jika ia sudah berusia 10 tahun dan meninggalkannya –padahal mampu-, maka
hendaklah ia dipukul. (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/ 9916)
[3] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/ 9916.
[4] Disebut dengan syarat wujubul adaa’ shoum.
[5] HR. Muslim no. 335.
[6] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/ 9916-9917.
[7] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/ 97 dan Al
Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/ 9917.
[8] HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907, dari
‘Umar bin Al Khottob.
[9] Niat tidak perlu dilafazhkan dengan “nawaitu
shouma ghodin …”. Jika seseorang makan sahur, pasti ia sudah niat dalam
hatinya bahwa ia akan puasa. Agama ini sungguh tidak mempersulit umatnya.
[10] Rowdhotuth Tholibin, 1/268.
[11] Mughnil Muhtaj, 1/620.
[12] Majmu’ Al Fatawa, 18/262.
[13] Idem.
[14] Yang dimaksudkan adalah masuk waktu shubuh.
[15] HR. Abu Daud no. 2454, Tirmidzi no. 730, dan
Nasa’i no. 2333.
Asy Syaukani
rahimahullah mengatakan, “Riwayat yang menyatakan bahwa hadits ini mauquf
(hanya perkataan sahabat) tidak menafikan riwayat di atas. Karena riwayat
marfu’ adalah ziyadah (tambahan) yang bisa diterima sebagaimana dikatakan oleh
ahli ilmu ushul dan ahli hadits. Pendapat seperti ini pun dipilih oleh
sekelompok ulama, namun diselisihi oleh yang lainnya. Ulama yang menyelisihi
tersebut berdalil tanpa argumen yang kuat” (Ar Roudhotun Nadiyah, hal. 323).
Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Irwaul Gholil 914 (4/26).
[16] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/9919.
[17] HR. Muslim no. 1154.
[18] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/35.
[19] Lihat Kasyaful Qona’ ‘an Matn Al Iqna’,
6/32.
[20] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/9922.
[21] Inilah pendapat ulama Syafi’iyah dan
Hanabilah. Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/9918.
[22] Ini pendapat jumhur (mayoritas ulama). Lihat
Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/9918.
[23] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/9915.
[24] HR. Tirmidzi no. 2970, beliau mengatakan
bahwa hadits ini hasan shahih.
[25] HR. Ahmad, 4/377. Shahih sebagaimana
dikatakan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth
Tidak ada komentar:
Posting Komentar