Berikut kami menyajikan beberapa fatwa ulama besar di abad
ke-20 yang membolehkan memberikan suara atau coblos dalam Pemilu dengan
menimbang-nimbang maslahat dan mudhorot. Memang demokrasi bukanlah cara
Islam, namun untuk masalah memberikan suara adalah hukum yang berbeda.
Silakan simak apa kata mereka.
[1] Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani –rahimahullah-, pakar hadits abad ini
Fatwa beliau ini adalah lanjutan dari jawaban beliau terhadap pertanyaan dari partai FIS Al Jazair.
Pertanyaan kedua: Bagaimana menurut hukum syar’i mengenai bantuan dan dukungan yang diberikan untuk kegiatan pemilu?
Jawab: Sekarang ini kami tidak menganjurkan siapapun saudara kita
sesama muslim untuk mencalonkan dirinya menjadi anggota parlemen di
negara yang tidak menjalankan hukum Allah. Sekalipun undang-undang
dasarnya menyebutkan Islam sebagai agama negara. Karena dalam prakteknya
hanya untuk membius anggota parlemen yang lurus hatinya. Dalam negara
semacam itu, para anggota parlemen sedikitpun tidak pernah mampu merubah
undang-undang yang berlawanan dengan Islam. Fakta itu telah terbukti di
beberapa negara yang menyatakan Islam sebagai agama negaranya.
Jika berbenturan dengan tuntutan zaman maka beberapa hukum yang
bertentangan dengan Islam sengaja disahkan oleh parlemen dengan dalih
belum tiba waktu untuk melakukan perubahan!! Itulah realita yang kami
lihat di sejumlah negara. Para anggota parlemen mulai menanggalkan ciri
dan identitas keislamannya. Mereka lebih senang berpenampilan ala barat
supaya tidak canggung dengan anggota-anggota parlemen lainnya. Orang ini
masuk parlemen dengan tujuan memperbaiki orang lain, tapi malahan ia
sendiri yang rusak. Hujan itu pada awalnya rintik-rintik kemudian
berubah menjadi hujan lebat!
Oleh karena itu, kami tidak menyarankan siapapun untuk mencalonkan dirinya menjadi anggota parlemen.
Namun menurutku, bila rakyat muslim melihat adanya calon-calon
anggota parlemen yang jelas-jelas memusuhi Islam, sedang di situ
terdapat calon-calon beragama Islam dari berbagai partai Islam, maka
dalam kondisi semacam ini, aku sarankan kepada setiap muslim agar
memilih calon-calon dari partai Islam saja dan calon-calon yang lebih
mendekati manhaj ilmu yang benar, seperti yang diuraikan di atas.
Demikianlah menurut pendapatku, sekalipun saya meyakini bahwa
pencalonan diri dan keikutsertaan dalam proses pemilu tidaklah bisa
mewujudkan tujuan yang diinginkan, seperti yang diuraikan di atas.
Langkah tersebut hanyalah untuk memperkecil kerusakan atau untuk
menghindarkan kerusakan yang lebih besar dengan memilih kerusakan yang
lebih ringan. Kaedah inilah yang biasa diterapkan oleh para pakar fiqh.
Pertanyaan ketiga: Bagaimana hukumnya kaum perempuan mengikuti pemilu?
Jawab: Boleh saja, tapi harus memenuhi kewajiban-kewajibannya, yaitu
memakai jilbab secara syar’i, tidak bercampur baur dengan kaum lelaki,
itu yang pertama.
Kedua, memilih calon yang paling mendekati manhaj ilmu yang benar,
menurut prinsip menghindarkan kerusakan yang lebih besar dengan memilih
kerusakan yang lebih ringan, seperti yang telah diuraikan di atas.
[Disalin dari Madarikun Nazhar Fis Siyasah, Syaikh Abdul Malik
Ramadlan Al-Jazziri, edisi Indonesia “Bolehkah Berpolitik?”, hal 45-46]
[2] Syaikh ‘Abdurrahman Al Barrok
–hafizhohullah-, ulama senior di kota Riyadh Saudi Arabia dan terkenal
keilmuannya dalam masalah akidah
Pertanyaan:
Wahai fadhilatusy Syaikh, sekarang banyak dikemukakan masalah
pemilihan umum tingkat daerah. Apa pendapatmu mengenai keikutsertaan
dalam pemilu seperti itu?
Jawab:
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam kepada Rasulullah. Wa ba’du:
Munculnya cara pemilihan umum tingkat daerah dan semacamnya, atau
pemilihan penguasa pada wilayah lainnya adalah di antara bentuk taqlid
(sekedar ikut-ikutan) dan tasyabbuh (menyerupai orang kafir) yang
dimasukkan atau diimpor ke tengah-tengah kaum muslimin.
Asalnya (yang benar), ulil amri (kepala negara) berijtihad untuk
memilih orang yang capable (memiliki kemampuan) dan sholeh untuk
mengurusi rakyat yang berada di bawah kekuasaannya. Ulil amri di sini
meminta nasehat kepada orang-orang yang ahli di bidangnya dan
menghendaki kebaikan bersama. Akan tetapi, jika rakyat diminta untuk
menyumbangkan suara dalam pemilihan, maka hendaklah para penuntut ilmu
(yang perhatian pada agamanya), juga orang-orang yang baik-baik ikut
serta dalam memilih caleg yang baik dari sisi agama dan dunia. Hal ini
dilakukan agar orang-orang bodoh, orang yang gemar bermaksiat (fasiq),
dan orang yang sekedar mengikuti hawa nafsu tidak menang dengan memilih
pemimpin yang sesuai dengan hawanya (keinginannya) dan orang yang
sejenis dengan mereka. Jika orang-orang baik turut serta memilih, maka
ini akan memperbanyak kebaikan, kejelekan pun berkurang sesuai dengan
kemampuan yang ada. Sunggun Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka
bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu” (QS. At Taghaabun:
16). Allah Ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang
mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat
(balasan)nya.” (QS. Az Zalzalah: 7)
Hikmah dari ini semua: Seorang hendaknya berusaha mewujudkan kebaikan
sesuai dengan kemampuannya dan bukan kewajiban baginya untuk
menyempurnakan tujuan.
Kita memohon kepada Allah untuk memperbaiki keadaan kaum muslimin dan
semoga Allah menjadikan pemimpin adalah orang-orang terbaik di antara
mereka. Wallahu a’lam.
[http://www.shawati.com/vb/archive/index.php/t-12080.html]
[3] Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman Al Jibrin –rahimahullah-, salah satu ulama besar di Saudi Arabia
Fadhilatusy Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman Al Jibrin ditanya
mengenai pandangan beliau terhadap keikutsertaan dalam pemilu baladiyah
(semacam pemilu tingkat daerah) dengan mendaftarkan diri, mencalonkan
diri dan memberikan suara.
Jawab: Jika dipandang dari pentingnya pemilu ini dan dampak yang
muncul dengan bagusnya keadaan pemerintahan, serta bisa menentukan
berbagai kebijaksanaan yang urgen dan manfaat bagi negera dan rakyat,
maka kami menilai bahwa penting sekali untuk ikut serta dalam pemilu
semacam ini, dan memilih calon yang terbaik dari sisi kemampuan, wawasan
dan kapasitas sehingga dia dapat betul-betul mengabdi. Diharapkan pula
bahwa yang terpilih nantinya adalah orang yang sholeh, dapat membuat
inovasi baru dan membuat kebijakan-kebijakan yang menjadi sebab baiknya
agama rakyat, serta memilih proyek-proyek yang sesuai dengan kondisi
real. Demikian pula akan diangkat para pejabat yang sholeh dan reformis
serta memiliki kapasitas dari kalangan orang-orang yang benar-benar
beriman, mengharapkan kebaikan bagi penguasa dan rakyatnya. Oleh karena
itu, jika yang mencalonkan diri adalah orang yang punya kemampuan,
wawasan dan bagus agamanya sehingga dapat mengangkat bawahan dari
kalangan orang-orang sholeh dan berpengetahuan, maka itulah yang terbaik
untuk saat ini dan di masa yang akan datang. Wallahu a’lam.
[http://montada.echoroukonline.com/archive/index.php/t-16999.html]
[4] Syaikh ‘Ali bin Hasan Al Halabiy–hafizhohullah-, murid senior Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dan pakar hadits
Pertanyaan:
Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh,
Sebagian ulama dan masyaikh mengeluarkan fatwa tentang bolehnya
penduduk Irak masuk dan ikut serta dalam pemilu di Irak. Jadi
pertanyaanku –wahai Syaikh-: Bukankah engkau melihat bahwa fatwa semacam
ini malah akan membuka pintu untuk berbagai kelompok (partai) agar
masuk dalam parlemen dan ikut serta dalam pemilu dengan alasan karena
ini adalah keadaan darurat, sedangkan keadaan darurat membolehkan
sesuatu yang terlarang.
Syaikh ‘Ali bin Hasan Al Halabi
menjawab:
Keadaan ‘Irak saat ini begitu pelik dan ruwet. Dalam masalah pemilu
–sebagaimana yang telah lewat- harus kita tinjau lebih mendalam lagi dan
jika ingin diputuskan, maka perlu dilihat hakikat sebenarnya
sebagaimana yang pernah aku isyaratkan padanya. Di markaz Al Imam Al
Albani pun telah keluar fatwa mengenai bolehnya ikut serta dalam pemilu
jika terpenuhi syarat-syaratnya. Begitu juga ada fatwa dari Syaikh
‘Ubaid Al Jabiriy mengenai bolehnya hal ini. Jika aku menilai, perkara
ini amatlah ruwet (rumit). Kita harus melihat maslahat dan mafsadat.
Tidak boleh kita legalkan secara mutlak atau pun kita larang secara
mutlak.
[http://www.kulalsalafiyeen.com/vb/showthread.php?t=2467]
[5] Para Ulama di Al Lajnah Ad Da’imah lil Buhuts wal Ifta’ (Komisi Tetap Urusan Riset dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi)
Ada beberapa fatwa Lajnah Da’imah mengenai pemilu. Berikut adalah salah satunya.
Fatwa no. 14676
Pertanyaan: Sebagaimana yang kalian ketahui bahwa nanti di negara
kami, Al Jaza-ir akan dilaksanakan Pemilu untuk memilih anggota DPR.
Dalam pemilu tersebut, terdapat partai yang memperjuangkan hukum Islam.
Namun ada juga partai yang menolak hukum Islam. Apa hukum memilih partai
yang anti hukum Islam padahal dia tetap shalat?
Jawab: Wajib bagi setiap muslim di berbagai negeri yang berhukum
dengan selain hukum Islam, agar mereka mencurahkan usaha mereka
semampunya untuk berhukum dengan syari’at Islam. Oleh karena itu,
hendaklah mereka saling bahu membahu dan menolong partai yang diketahui
akan menegakkan syari’at Islam. Adapun menolong partai yang menolak
penerapan hukum Islam, hal ini tidak diperbolehkan, bahkan pelakunya
menjadi kafir. Hal ini berdasarkan firman Allah (yang artinya), “
Dan
hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang
diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan
berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan
kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika
mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka
ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah
kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya
kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. Apakah hukum Jahiliyah
yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada
(hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?” (QS. Al Maa’idah:
49-50). Oleh karena itu, ketika Allah telah menyatakan bahwa orang yang
berhukum dengan selain hukum Islam adalah kafir, maka Allah
memperingatkan agar kita tidak menolong mereka atau menjadikan mereka
sebagai wali (penolong). Allah telah memerintahkan orang-orang yang
beriman untuk bertakwa jika memang mereka beriman dengan
sebenar-benarnya. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu,
orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu)
di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan
orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada
Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman.” (QS. Al Ma’idah: 57)
Wa billahi taufik. Semoga shalawat dan salam dari Allah tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’
Anggota: ‘Abdullah bin Ghodyan
Wakil Ketua: ‘Abdur Rozaq ‘Afifi
Ketua: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz
[Maktabah Asy Syamilah]
[6] Syaikh Musthofa Al ‘Adawi, ulama
terkemuka di Mesir, murid dari Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i, dan
terkenal dengan ilmu tafsir dan haditsnya
Syaikh Musthofa Al ‘Adawi hafizhohullah berkata, “Adapun memberikan
suara dalam pemilu, maka ini kembali pada kaedah ‘memilih mudhorot
(bahaya) yang lebih ringan’. Jika ada calon yang fasik dan ada calon
yang sholeh, maka memberi suara ketika itu dalam rangka memilih bahaya
yang lebih ringan (mengikuti pemilu termasuk mudhorot, tidak memilih
calon yang sholeh termasuk mudhorot, maka ketika itu dipilihlah bahaya
yang lebih ringan, pen). Jadi memberikan suara ketika itu dalam rangka
memilih bahaya yang lebih ringan.” (Diambil dari video:
http://www.youtube.com/watch?v=ce7JnGuyB_s)
[7] Syaikh Sholeh Al Munajjid, ulama
Saudi Arabia dan di antaranya murid Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, juga
menjadi pengelola website Al Islam Sual wal Jawab (Tanya Jawab Islam)
Dalam fatwa Al Islam Sual wal Jawab, Syaikh Sholeh Al Munajjid
hafizhohullah
berkata, “Masalah memberikan suara dalam Pemilu adalah masalah yang
berbeda-beda tergantung dari waktu, tempat dan keadaan. Masalah ini
tidak bisa dipukul rata untuk setiap keadaan.
Dalam beberapa keadaan tidak dibolehkan memberikan suara seperti
ketika tidak ada pengaruh suara tersebut bagi kemaslahatan kaum muslimin
atau ketika kaum muslimin memberi suara atau tidak, maka sama saja,
begitu pula ketika hampir sama dalam perolehan suara yaitu sama-sama
mendukung kesesatan. Begitu pula memberikan suara bisa jadi dibolehkan
karena menimbang adanya maslahat atau mengecilkan adanya kerusakan
seperti ketika calon yang dipilih kesemuanya non muslim, namun salah
satunya lebih sedikit permusuhannya dengan kaumm muslimin. Atau karena
suara kaum muslimin begitu berpengaruh dalam pemilihan, maka keadaan
seperti itu tidaklah masalah dalam pemberian suara.
Ringkasnya, masalah ini adalah masalah ijtihadiyah yang dibangun di
atas kaedah menimbang maslahat dan mafsadat. Sehingga masalah ini
sebaiknya dikembalikan pada para ulama yang lebih berilmu dengan
menimbang-menimbang kaedah tersebut.” (
Fatwa Al Islam Sual wal Jawab no. 3062).
Demikian fatwa para ulama terkemuka yang bisa kami sajikan. Menyuruh
untuk “Golput” pun suatu yang masalah saat ini, sehingga seharusnya
ditimbang-timbang manakah yang maslahat.
Semoga bermanfaat. Hanya Allah yang memberi taufik.
—
Penyusun:
Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel
Muslim.Or.Id