Islam adalah ajaran terakhir yang diwahyukan Allah subhanahu wa ta’ala kepada Nabi Muhammadshallallahu ‘alaihi wa sallama.
Sesudah itu, tidak ada lagi Rasul yang diutus dan tidak terdapat lagi
wahyu yang diturunkan untuk mengatur umat manusia di muka bumi. Hal ini
mengisyaratkan bahwa agama Islam yang dinyatakan sempurna di akhir hayat
Rasulullah, benar-benar membawa ajaran yang memiliki dinamika sangat
tinggi, mampu menampung segala macam persoalan baru yang ditimbulkan
oleh perkembangan sosial. Persoalannya kemudian adalah, bahwa pada
kenyataannya ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang masalah hukum
sangat terbatas jumlahnya. Sementara itu, terdapat kenyataan lain yang
tidak dapat dibantah yaitu berkembangnya persoalan sosial yang selalu
mendesak ditambah beraneka-ragamnya adat dan tradisi dalam kehidupan
masyarakat. Dua kenyataan inilah yang menyebabkan umat Islam selalu
dihadapkan pada suatu tantangan, apakah relevansi hukum Islam dapat
dibuktikan dalam realita kehidupan yang selalu berkembang ini.
Pengertian ’Urf (Hukum Adat)
Secara etimologi, al-‘Urf kadang diartikan kebiasaan baik, sifat dermawan, sabar, pengakuan, dan berurutan. Sedangkan al-‘aadah yang diambil dari kata ‘awada (عود) berarti terus-menerus dan gigih dalam melakukan sesuatu.
Dipandang dari terminologi fiqh, Imam Al-Ghazali dalam kitab al-mustashfa, mendefinisikan ‘urf sebagai berikut: “’Urf
adalah suatu praktek yang berlaku dan menjadi satu ketetapan dengan
bersandar pada apa yang di anggap baik oleh akal serta dapat diterima
oleh manusia normal” (DR. Ahmad Fahmi Abu Sinnah, al-adatu wa al-‘Adah fi Ra’yi al-Fuqaha’, hal. 10),
beliau juga tidak membedakan antara adat dengan ‘aadah. Akan tetapi,
sebagian ulama membedakan diantara keduanya. Mereka memberi definisi ‘aadah dengan praktek yang terjadi berulang-ulang dengan tanpa adanya hubungan emosional (nafsani). (Ibn ‘Amir al-Hajj, Syarah Tahrir, vol. 1, hal. 282). Dari definisi ini, kita bisa menarik kesimpulan bahwa ‘aadah lebih luas cakupannya dari pada urf.
Pembagian Adat
Adat terdiri atas beberapa hal dengan memandang dua aspek penting:
1. Memandang sebab. Hal ini dibagi menjadi (a) qauly, yaitu istilah yang telah disepakati bahwa ketika diucapkan maka dengan sendirinya dan tanpa membutuhkan qarinah, akan tertuju pada arti yang dimaksud dan bukan madlulnya secara sempurna, seperti kata “dirham” yang sebelumnya mencakup semua jenis mata uang, kemudian dikhususkan pada mata uang perak, dan (b) amaly, pekerjaan yang telah berlaku baik secara umum ataupun terbatas dalam komunitas tertentu.
2. Memandang orang yang meletakkannya. Bagian ini terbagi atas (a) ‘aam, yaitu kebiasaan yang telah berjalan dalam semua Negara Islam, baik di masa lampau atau di masa kini. Misalnya: kata tholaq digunakan untuk putusnya hubungan suami-istri. (b) khosh, yaitu kebiasaan yang hanya berlaku dalam suatu daerah tertentu, seperti; kebiasaan penduduk Irak menggunakan istilah “al-dabbah” untuk menunjukkan arti kuda. (c) syar’iy, yaitu istilah yang digunakan oleh syara’ untuk menunjukkan arti tertentu, seperti istilah sholat yang
semula mempunyai arti do’a kemudian digunakan oleh syara’ untuk
menunjukkan ritual ibadah tertentu. Sebenarnya adat ini termasuk adat khosh, tetapi Fuqaha’memberi istilah tersendiri karena dianggap sakral.
Dari segi aplikasi hukumnya, adat dibagi menjadi dua. Pertama, ‘Aadah Syar’iyyah,
yaitu suatu adat yang ditetapkan oleh syara’, baik berbentuk perintah,
larangan atau ibahah. seperti keharusan menutup aurat dalam sholat,
diperbolehkannya bai’ al-‘aroya, kewajiban qishas dalam pembunuhan dan lain-lain. Adat yang seperti ini, setelah wafatnya Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wa Sallam,
tidak dapat berubah. Apa yang oleh syara’ dianggap baik, maka itulah
kebaikan yang sebenarnya. Hal ini dikarenakan, aktifitas-aktifitas yang
telah ditetapkan syara’ melalui nash-nashnya adalah bentuk hukum-hukum
syariat yang tidak bisa dirubah hanya dengan pertimbangan baik atau
buruk oleh akal pikiran. Adapun pada masa Rasulullah masih bisa terjadi
perubahan hukum yang kita kenal dengan istilah naskh.
Kedua, ‘Aadah ghoiru syar’iyyah, yaitu adat yang tidak ada ketetapan dari syara’. Adat ini terbagi menjadi; (a) tsabitah,
yaitu adat yang tidak pernah mengalami perubahan dalam setiap kondisi,
ruang, dan waktu. Seperti, perasaan ingin makan, minum dan lainnya. Dan
(b) mutabaddilah,
yaitu adat yang bisa berubah tergantung situasi dan kondisi, ruang dan
waktu. Adat ini sangat banyak ragamnya, sebagian darinya terjadi akibat
perbedaan cuaca yang mempengaruhi cepat atau lambatnya pertumbuhan,
perbedaan istilah, perbedaan sistem kerja dan atau perbedaan asumsi
dalam menentukan aktivitas tertentu yang dianggap baik dan buruk,
seperti; perbedaan “Apakah menanggalkan tutup kepala dapat menjatuhkan
harga diri atau tidak”.
Perhatian Islam Terhadap Adat Dan Dalilnya
Para fukaha
dengan madzhab yang berbeda-beda, sepakat bahwa adat merupakan salah
satu pertimbangan dalam mengambil ketetapan hukum dan menjadikan adat
sebagai dasar dari beberapa sumber hukum fiqh. Ibn ‘Abidin dalam Nasyr al-‘Urf menyatakan: “ketahuilah, bahwa sebagian ulama (Syihabuddin Al-Qarafi Al-Maliki[ Abu al-‘Abbas Syihabuddin Al-Qarafi Al-Maliki, Al-Faruq, vol. 3, hal. 149]) menjadikan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ… الأية
“Jadilah engkau pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (baik)…” (Al-A’raaf: 199), sebagai salah satu dalil bahwa Islam sangat memperhitungkan adat”.
Dalil ini tentunya mengacu pada keterangan bahwa yang dimaksud “Al-‘Urfi”
dalam ayat di atas adalah adat yang telah dikenal dan dijalankan oleh
manusia. Mereka juga mengambil dalil, seperti yang dikutip oleh
Jalaluddin As-Suyuthi Asy-Syafi’i dalam Al-Asybah wa An-Nadzo’ir, dari sabda Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wa Sallam:
ما رآه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن
“apa yang dianggap baik oleh kaum muslimin, maka hal itupun merupakan kebaikan menurut Allah” (HR. Ahmad).
Berikut ini adalah beberapa point penting tentang adat dalam kaitannya dengan hukum-hukum syariat.
Adat sebagai Parameter Aplikasi Hukum yang belum mempunyai ketetapan pasti
Merupakan kebijaksanaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Dzat yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui, dengan mensyariatkan beberapa hukum yang mutlak dan menyerahkan kepada orang-orang yang kredibel (ulama) untuk menjelaskan dan mengaplikasikannya sesuai dengan tuntutan kemaslahatan dan adat (tradisi)
yang berlaku di kalangan umat Islam pada waktu itu. Sehingga Islam
mampu menjadi agama yang elastis, adaptif dan tetap relevan dalam setiap
ruang dan waktu. Karena seandainya dalam Islam hanya ada satu ketetapan
hukum tanpa memandang kemaslahatan dan adat yang berlaku di berbagai
penjuru dunia, maka manusia akan berada dalam kesulitan yang tidak
terperikan dan kiranya tidak pantas Islam menyandang predikat“Rahmatan li al-‘alamin”.
Sebaliknya, kalau ketetapan Islam mengikuti semua kemaslahatan umat
manusia dalam setiap dimensi waktu yang terus mengalami perubahan, maka
perintah yang di bebankan kepada manusia akan tak terhitung banyaknya
sedangkan mereka tidak sanggup lepas darinya. Hal itu akan menyebabkan
hancurnya tatanan syariat yang diletakkan di atas dasar yang kuat ini,
yaitu meringankan beban.
Di bawah ini, Penulis akan mencoba menyebutkan contoh hukum mutlak yang aplikasinya di sandarkan pada adat yang berlaku;
Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda;
من رأى منكم منكرا فليغيّره بيده, فإن لم يستطع فبلسانه……الحديث
“Barang
siapa diantara kalian melihat suatu kemunkaran, maka hendaklah dia
menghilangkannya dengan tangannya, kalau tidak sanggup maka dengan
ucapannya……” (HR. Muslim).
Fuqoha’ menjadikan hadist ini sebagai salah satu landasan dari kewajiban hukum ta’zir bagi mereka yang melakukan pelanggaran-pelanggaran hukum yang sanksinya tidak ditetapkan secara khusus (had). Mereka mengatakan, ta’zir
bisa diwujudkan dengan segala cara yang dapat mendidik dan mencegah
terulangnya pelanggaran tersebut, selagi tidak sepadan denganhad yang ditentukan Allah. Pernyataaan ini, tentunya mengikut sertakan adat untuk mengimplementasikan hukum ta’zir tersebut,
meskipun, ada beberapa sanksi hukum yang bertujuan mendidik dan
mencegah tanpa adanya perbedaan, seperti; memukul dan memenjarakan.
Walhasil, dalam Islam terdapat beberapa ketetapan yang
masih dimutlakkan kemudian diserahkan ke tangan para Mujtahid, Mufti
atau Qodli untuk mengaplikasikannya dengan mengambil rujukan adat yang
berlaku dalam masyarakat setempat. Termasuk diantaranya, jenis nafkah
yang harus diberikan pada keluarga, bentuk penjagaan dalam masalah
pencurian, dan lainnya.
Adat Sebagai Ganti Pernyataan
Adat,
terkadang dapat mengganti hal yang semestinya membutuhkan ungkapan
perkataan. Seperti; menunjukkan idzin, larangan, bahkan menunjukkan hal
yang bisa dijadikan pegangan oleh saksi, hakim atau mufti.
Dengan arti, adat tersebut bagi mereka dianggap seperti hal yang
didengar atau dilihat sehingga mereka bisa bersaksi atau mengambil
keputusan dengannya. Adat yang seperti ini, kapasitasnya diakui syara’
sama dengan kapasitas perkataan dan dapat menimbulkan ketetapan yang sama dengan pernyataan.
Dalam I’lam Al-Muwaqqi’in disebutkan: “adat diberlakukan seperti halnya syarat yang diucapkan”. Dalam Al-Qawa’id, Izzuddin bin Abdussalam menyatakan: “Pasal
dalam menerangkan bahwa apa yang ditunjukkan adat dan suatu kondisi
tertentu bisa mengkhususkan keumuman dan membatasi kemutlakan seperti
halnya kata-kata”)Ibn Abdissalam, Al-Qawa’id, vol. 2, hal. 121. ]. Hal senada juga diungkapkan ulama’ Hanafiyah dan Malikiyah.
Salah
satu contohnya adalah menghidangkan makanan pada tamu, menunjukkan
bahwa tuan rumah telah memberinya idzin untuk memakannya. Memagari area
tanah, menunjukkan larangan bagi orang lain mengunakan tanah tersebut.
Pengunaan toilet umum tanpa mengucapkan akad sewa, menjelaskan waktu di
dalamnya dan kadar air yang dipakai. Wallahu a’lam.
Referensi:
DR. Ahmad Fahmi Abu Sinnah, al-adatu wa al-‘Adah fi Ra’yi al-Fuqaha’,
Ibn ‘Amir al-Hajj, Syarah Tahrir,
muqoddimah Ibnu khuldun, kutub Ilm al-Ijtima’ fi Bahst al-adati, Ilm an-Nafsi fi Bahts al-Adah, Al-Mabsuth fi Mabahits Mukhtalifah.
Abu al-‘Abbas Syihabuddin Al-Qarafi Al-Maliki, Al-Faruq,
Ibn Abdissalam, Al-Qawa’id,
Sumber: http://www.annursolo.com
Baca Juga:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar