Selasa, 21 Februari 2017

Pemimpin Adalah Nahkoda Umat


Baik dan buruknya umat ini tergantung kepada pemimpinnya. Betapa tidak, ibarat kerajaan ia adalah raja yang mengatur segala kebijakan rakyatnya. Kemaslahatan suatu negeri tercipta apabila pemimpinnya mempunyai tujuan yang jelas untuk memajukan negaranya. Tujuannya murni untuk melayani masyarakat dalam rangka memajukan kualitas penduduknya dalam aspek dunia dan akhirat. Namun, apabila kepemimpinannya hanya sekedar ambisi hawa nafsu untuk meraih keuntungan duniawi, maka adzab dan laknatlah yang pantas baginya.

Di tengah hangatnya suasana pemilihan calon pemimpin, para calon berkampanye memperkenalkan diri dengan orasi dan janji. Setiap pojok-pojok jalan terpampang gambar dan slogan dengan polesan yang menawan. Masing-masing memaparkan jati diri, meskipun harus mengobarkan harga diri. Kita tidak tahu apakah semua yang diungkapkan itu hanya janji gombal semata untuk mengelabuhi masyarakat, atau benar-benar berangkat dari keprihatinan untuk memperbaiki kondisi negeri yang semakin tidak menentu.

Islam menganggap bahwa pemimpin adalah unsur yang sangat penting dalam umat, karena ditangannya hitam-putih umat dipertaruhkan. Dari sahabat Abdullah bin Umar beliau berkata, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
كلكم راع، وكلكم مسئول عن رعيته الإمام راع ومسئول عن رعيته

Artinya, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Imam adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya. (HR Bukhari).

Syaikh Muhammad Abdurrahman Al-Mubarafury berkata, ”Seorang pemimpin adalah sosok manusia yang diserahi kepercayaan untuk mengadakan perbaikan, sehingga ia dituntut untuk berbuat adil.”
Imam Ath-Thiny dalam menjelaskan hadits di atas berkata, “Sesungguhnya seorang pemimpin tidak hanya bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri, ia juga dituntut untuk menjaga dan memelihara setiap aspek yang menjadi tanggungjawabnya. Maka seorang penguas adalah memutuskan kebijakan harus sejalan dengan rambu-rambu syariat di dalamnya.

Begitu besarnya tanggungjawab seorang pemimpin dalam mengatur rakyatnya, hingga Rasulullah Shallallahu ‘alahi wasallam mengancam para pemimpin yang tidak amanah dalam memegang kekuasaannya. Dari Abi Ya’la Ma’qal bin Yasar beliau berkata, Rasulullah bersabda,
مَا مِنْ وَالٍ يَلِي رَعِيَّةً مِنْ الْمُسْلِمِينَ فَيَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لَهُمْ إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
Artinya, “Seorang pemimpin yang memimpin kaum muslimin, lantas dia meninggal dalam keadaan menipu mereka, niscaya Allah mengharamkan surga baginya. “(HR. Bukhari).
Dalam riwayat lain disebutkan, “Seorang hamba yang Allah beri amanat kepemimpinan, namun dia tidak melaksanakannya dengan baik, maka niscaya ia tidak akan mendapat bau surga.”
Syaikh Utsaimin mengatakan, “Bagi para pengambil kebijakan, hukumnya wajib untuk berlemah lembut dan berbuat baik kepada rakyatnya. Menetapkan kebijakan yang menimbulkan kemaslahatan dan meniadakan kemudharatan, karena mereka orang yang akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah atas kepemimpinannya.”
Namun, menjadi keprihatinan bagi kita atas ulah para pemimpin negeri ini. Mereka yang diberi amanah oleh rakyat untuk mengendalikan roda pemerintahan tidak semakin sadar akan tanggungjawab mereka. Jabatan yang seharusnya digunakan untuk melayani rakyat, tapi justru diselewengkan sebagai alat untuk memperkaya diri. Penderitaan rakyat yang tidak kunjung henti, tidak disikapi secara serius. Hal ini bisa kita saksikan betapa mereka membuat jadwal plesiran ke luar negeri dengan uang rakyat.
Memang di antara sekian persoalannya adalah adanya para pemegang kebijakan, yang sebenarnya tidak kapabel dalam memegang roda pemerintahan. Mereka memaksakan diri untuk campur tangan dengan berbagai motif. Harusnya mereka menyadari bila memang tidak mampu dalam memegang amanah untuk mengundurkan diri. Jauh-jauh hari Islam telah mengajarkan kepada kita untuk tidak merengek-rengek meminta jabatan.
Dari Abdurrahman bin Samurah berkata, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ لَا تَسْأَلْ الْإِمَارَةَ فَإِنَّكَ إِنْ أُوتِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا وَإِنْ أُوتِيتَهَا مِنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا
Artinya, “Wahai Abdurrahman bin Samurah, Janganlah kamu meminta jabatan, sebab jika engkau diberi (jabatan) karena meminta, kamu akan ditelantarkan, dan jika kamu diberi dengan tidak meminta, kamu akan ditolong. (HR Bukhari).

Dalam hadits yang lain dari Abu Hurairah beliau berkata, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
“Kalian akan rakus terhadap jabatan, padahal jabatan itu akan menjadi penyesalan di hari kiamat. (HR. Bukhari)

Keadaan yang berbeda 180 derajat antara zaman sahabat dengan sekarang ini. Dahulu para sahabat yang merasa tidak mampu dalam memegang amanah kekuasaan tidak memaksakan diri untuk menjadi penguasa. Betapa banyak di antara para sahabat yang menolak saat ditunjuk menjadi penguasa. Mereka paham dengan konsekuensi yang besar saat ditunjuk menjadi penguasa. Berbeda dengan hari ini, dimana manusia saling berebut kekuasaan. Bahkan, mereka rela sekalipun menggadaikan harga diri dan agama.

Tak ayal, syarat menjadi pemimpin menurut standar Islam tidak mudah. Mereka adalah orang yang paham terhadap terhadap agama, mempunyai kemampuan untuk memimpin dengan berbagai keahlian, dan syarat-syarat yang lain. Sehingga hasil nya adalah pemimpin yang mempunyai kredibilitas tinggi dalam memimpin.
Akhirnya, sudah saat nya kita sebagai rakyat selektif dalam memilih pemimpin, karena pemimpin adalah nahkoda umat. Jika cakap, ia akan mampu menyelamatkan seluruh awak kapal, namun jika tidak maka seluruh awak akan binasa. Wallahu A’lam [Andri Tonang]

Sumber: http://www.annursolo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar