Selasa, 21 Februari 2017

ETIKA KETIKA BERSELISIH PENDAPAT


Dalam menghadapi perselisihan, sikap yang mulia hendaklah selalu diutamakan. Hal itu disebabkan karenaketika  terjadi perselisihan antara dua pihak, keduanya berusaha untuk saling menjatuhkan dan saling menyalahkan. Imbasnya, akan terjadi sikap dan perilaku yang jauh dari sifat kemuliaan.
ketika berselisih,  jiwa dan diri manusia diuji; akankah jiwa manusia dapat mempertahankan segala kemuliaan yang dipelajari selama ini, atau dia akan tenggelam dalam amarah yang akan menghanguskan kemuliannya. Karenanya, walau dalam kondisi kondisi marah, jiwa dan nafsu harus berada dalam adab-adab yang yang telah disyariatkan, yaitu :

1.    Inshaf; berlaku adil.

Bersikap insaf atau adil amat sukar dilakukan karena sebagai manusia, mudah hanyut terbawa emosi. Padahal emosi akan membutakan mata hati manusia, yang benar terlihat salah dan yang salah terlihat sebagai kebenaran.  Padahal benar dan salah timbangannya adalah syariat, bukan emosi dan perasaan. Firman Allah Ta‘ala :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“ Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.[QS Al Maidah : 8]

2.    Selalu berprasangka baik.

Sekalipun jiwa dibakar amarah ketika berselisih, seorang muslim harus selalu mengedepankan husnudhonnya. Karena bisa jadi perselisihan timbul karena seseorang selalu bersu’udhon kepada pihak lain. Firman Allah Ta‘ala

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلا تَجَسَّسُوا وَلا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” .(QS. Al Hujurat:12)

3.    berusaha untuk saling menasehati

Nasihat merupakan satu sendi utama dalam Islam. Hal ini telah Allah tegaskan dalam surat Al Ashr:

وَالْعَصْرِ (١)إِنَّ الإنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (٢)إِلا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (٣)
Artinya : Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. ( Al Ashr :1-3)
Dengan nasihat, agama ini dapat dipelihara daripada penyelewengan Aqidah, ibadah, dan akhlak. Akan tetapi memberi nasihat juga perlu memperhatikan etika. Antara lain:
•    Niat ikhlas.
•    Mencari cara yang tepat untuk menasehati orang lain. Dengan sembunyi-sembunyi, dengan surat atau dengan cara yang lain. Antara pribadi satu dengan yang lainnya memerlukan cara yang berbeda.
•    Orang yang dinasehati harus terbuka untuk menerima saran dan kritikan dari yang lain selama tidak melanggar dari aturan Allah.
•    Seyognya orang yang dinasehati, menghargai nasehat yang ditujukan kepadanya. Tidak meremehkan, apalagi mengabaikan.

4.    Menghormati Ahlul ilmi

Orang yang berilmu (ahlul ilmi)  adalah golongan yang mulia dikarenakan predikat mereka sebagai pewaris nabi (waratsatul anbiya). Namun sebagai manusia, mereka tidak luput dari kekhilafan dan kesalahan. menyikapi perselisihan dengan ahlul ilmi, hendaknya kita tetap memberikan penghormatan kepada orang yang memiliki ilmu. Jangan sampai mendudukan mereka sama seperti orang awam yang tidak memiliki ilmu. Karena merendahkankan mereka ibaratnya seperti merendahkan islam.
Allah berfirman :
قَالَ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَاهُ عَلَيْكُمْ وَزَادَهُ بَسْطَةً فِي الْعِلْمِ وَالْجِسْمِ وَاللَّهُ يُؤْتِي مُلْكَهُ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“ Nabi (mereka) berkata: “Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang Luas dan tubuh yang perkasa.” Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha mengetahui. (Al-Baqarah :247)

5.    Kembali kepada ahlul ilmi.

Salah satu faktor yang pemicu perselisihan adalah karena keminiman ilmu yang di miliki masing-masing pihak. Tanpa disadari, berkembang menjadi perselisihan karena bersikukuh dengan pendapatnya. Dalam keadaan seperti ini, mengembalikan masalah kepada ahli ilmu sangat dianjurkan. Sesuatu yang samar akan menjadi jelas ketika ahli ilmu turun tangan menjadi  penengah dalam pertikaian.
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلا رِجَالا نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ
“ Dan tidaklah Kami mengutus Rasul-rasul sebelummu (wahai Muhammad), melainkan dari kalangan orang-orang lelaki, yang Kami wahyukan kepada mereka. Oleh itu bertanyalah kamu (wahai golongan musyrik) kepada orang-orang yang berpengetahuan ugama jika kamu tidak mengetahui.“(al-Nahl 16:43):

6.    meminimilasir perkara yang menjadi sumber perselisihan

Setiap perselisihan tentu ada penyebabnya, sesuai kata pepatah tidak ada asap kalau tidak ada api. Nafsu manusia memang cenderung untuk mengungkit-ungkit perkara yang kadang akan membuat pihak yang lain tidak berkenan. Dalam perkara agama misalnya, selalu membesarkan perkara-perkara yang para ulamapun berbeda pendapat tentangnya. Bilangan rekaat tarawih dan mengangkat tangan dalam sholat misalnya.
وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُوا إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
’’ Dan taatlah kamu kepada Allah dan RasulNya, dan janganlah kamu berbantah-bantahan; kalau tidak niscaya kamu menjadi lemah semangat dan hilang kekuatan kamu, dan sabarlah (menghadapi segala kesukaran); sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. ’’(Al-Anfal 8:46):

7.    Mengutamakan ukhuwwah.

Perselisihan memang merupakan suntullah/ketetapan dari Allah yang tidak bisa dihindari. Namun menjaga persaudaraan lebih diutamakan daripada menghanyutkan diri dalam perselisihan.  Bukankah para ulama dahulu juga berbeda pendapat yang akhir menjadi madzhab dalam fiqih?. Namun semua itu tidak menjadikan ukhuwah diantara mereka renggang. Yang terjadi justru sebaliknya., mereka saling menghormati dan salaing memuji karena mereka sangat menjiwai ukhuwah islamiyyah sebagai kewajiban.
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“ Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.[QS Al Hujurat : 10]

ketika salaf ketika berselisih

1.    Dalam kitab  Tadzkiratul Huffadz dikisahkan bahwa  Imam Yahya bin Sa’id Al Anshari rahimahullah berkata : ”Para ulama adalah orang-orang yang memiliki kelapangan dada dan keleluasaan sikap, dimana para mufti selalu saja berbeda pendapat, sehingga (dalam masalah tertentu) ada yang menghalalkan dan ada yang mengharamkan. Namun mereka tidak pernah  saling mencela satu sama lain.
2.    Dalam kitab Siyaru A’lam An-Nubala dituliskan bahwa Imam Yunus bin Abdul A’la Ash-Shadafi rahimahullah (salah seorang murid/sahabat Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah) berkata : ” Aku tidak mendapati orang yang lebih berakal (lebih cerdas) daripada Asy Syafi’i. Suatu hari pernah aku berdiskusi (berdebat) dengan beliau, lalu kami berpisah. Setelah itu beliau menemuiku dan menggandeng tanganku seraya berkata : ” Hai Abu Musa! Tidakkah sepatutnya kita tetap bersaudara, meskipun kita tidak sependapat dalam satu masalah pun ? (tentu diantara masalah-masalah ijtihadiyah)
3.    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan dalam Majmu’ Al-Fatawa : ”Seandainya setiap kali dua orang muslim yang berbeda pendapat dalam suatu masalah itu saling menjauhi dan memusuhi, niscaya tidak akan tersisa sedikitpun ikatan ukhuwah diantara kaum muslimin” .
4.    Disebutkan dalam kitab Al-Faqih wal Mutafaqqih bahwa Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah berkata,”Dalam masalah-masalah yang diperselisihkan diantara para ulama fiqih, aku tidak pernah melarang seorang pun diantara saudara-saudaraku untuk mengambil salah satu pendapat yang ada”.
5.    Dalam Majmu’ Al-Fatawa,  Syaikhul Islam  juga menyebutkan sikap Ahmad bin Hambal rahimahullah  yang berpendapat bahwa berbekam dan mimisan itu membatalkan wudhu. Namun ketika beliau(imam Ahmad) ditanya oleh seseorang,”Bagaimana jika seorang imam tidak berwudhu lagi (setelah berbekam atau mimisan), apakah aku boleh shalat di belakangnya?” Imam Ahmad pun menjawab,”Subhanallah! Apakah kamu tidak mau shalat di belakang Imam Sa’id bin Al-Musayyib rahimahullah dan Imam Malik bin Anas rahimahullah?” (karena beliau berdualah yang berpendapat bahwa orang yang berbekam dan mimisan tidak perlu berwudhu lagi)
Semoga kita dapat meneladani para pendahulu kita yang shalih ketika mengalami perbedaan pendapat dengan saudara-saudara kita. Allahu a’lam.

Referensi
1.    Al-Muswaddah Fi Ushulil Fiqhi Li aali Taimiyah
2.    Majmu’ Al-Fatawa, Ibnu Taimiyyah
3.    Siyaru A’lam An-Nubala, Adz Dzahabi
4.    Tadzkiratul Huffadz
5.    Al-Faqih wal Mutafaqqih

Sumber: http://www.annursolo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar