Rabu, 01 Maret 2017

KETIKA TAAT KEPADA PENGUASA MENGUNDANG PETAKA


Dalam agama Islam ketaatan kepada seorang penguasa merupakan sebuah kewajiban yang ditetapkan oleh Kitabullah, Sunnah Rasul-Nya serta Ijma’ para ulama. Sebab, sebuah kekuasaan tidak akan tegak tanpa adanya ketaatan, bahkan seluruh urusan umat tidak akan lurus kecuali dengan adanya ketaatan. Sebagaimana pula yang dikatakan oleh Umar radhiyallahu anhu, “Tidak ada Islam tanpa jamaah, tidak ada jamaah tanpa kepemimpinan dan tidak ada kepemimpinan tanpa ketaatan.” Allah ﷻ berfirman:
Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa’: 59)
Nabi ﷺ bersabda, “Dengarlah dan taatlah meski kalian dipimpin seorang budak Habasyah yang kepalanya (kecil) seperti anggur kering selama ia menegakkan kitab Allah di tengah-tengah kalian.” (HR. Bukhari)

Celaka Karena Taat
Namun, apa jadinya kalau ternyata ketaatan yang diberikan kepada penguasa justru berbuah kehancuran dan kecelakaan bagi dirinya sendiri. Padahal, kewajiban taat kepada mereka berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah. Namun, Allah sendiri telah memberikan gambaran bagaimana kecelakaan yang didapatkan oleh suatu kaum maupun rakyat, yang disebabkan ketaatan mereka kepada para penguasa. Allah berfirman:
“Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikan dalam neraka, mereka berkata: “Alangkah baiknya, andaikata kami taat kepada Allah dan taat (pula) kepada Rasul”.Dan mereka berkata: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar”.(QS. al-Ahzab: 66-68)
Imam Ibnu Katsir menerangkan bahwa, “Mereka diseret ke dalam neraka di atas wajah-wajah mereka, kemudian wajah mereka meliuk-liuk dalam jahannam. Lalu pada saat seperti itu mereka berangan-angan kalau seandainya dulu mereka di dunia taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Sebab, mereka (lebih) mengikuti (taat) kepada as-Saadah yakni pemimpin-pemimpin, dan Kubaraa’ yakni para ulama atau pembesar kaum. Sedang mereka menyelisihi rasul-rasul Allah.”
Kemudian diriwayatkan dalam sebuah hadits, dari Ali bin Abi Thalib, ia berkata, “Nabi ﷺ mengirim satuan pasukan dan mengangkat seorang Anshar sebagai komandan pasukan, ia memerintahkan pasukannya untuk taat kepadanya. Suatu ketika komandan marah kepada mereka dan berkata, ‘Bukankah Nabi ﷺ memerintahkan agar kalian taat kepadaku? ‘Betul, ‘jawab prajuritnya. Ia berkata, ‘Aku ingin agar kalian mengumpulkan kayu bakar lalu kalian nyalakan api, kemudian kalian masuk dalam kobaran api itu.’
Para prajurit kemudian mengumpulkan kayu bakar lalu menyalakan api. Saat hendak memasuki kobaran api, mereka saling menatap satu sama lain. Lalu ada di antara mereka berkata, ‘Kami mengikuti Nabi ﷺ untuk menjauhi api (neraka), lantas apakah kita harus memasukinya?’ Saat dalam situasi seperti itu, kobaran api padam dan amarah si komandan mereda. Kejadian ini disampaikan kepada Nabi ﷺ lalu bersabda, ‘Andai mereka memasukinya mereka tidak akan keluar darinya. Ketaatan itu hanya pada kebaikan.” (HR. Muttafaq alaih)
Begitu besar dan berat musibah yang menimpa suatu kaum yang taat kepada para penguasa mereka. Dikarenakan mereka (penguasa) menyelisihi Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Tidak mau berhukum dengan hukum Islam, mereka lebih condong kepada hukum-hukum positif yang dibuat oleh manusia yang menjadi tempatnya lupa dan salah. Bahkan, lebih didahulukan  dari pada Qur’an dan Sunnah. Sedang kaum muslimin taat kepada mereka.
Maka, ketika rakyat kaum muslimin mengikuti dan taat kepada mereka, mematuhi setiap titah perintahnya, sedangkan ia (rakyat) mengetahui bahwa perintah tersebut menyelisihi sunnah yang diajarkan oleh Nabi Muhammad ﷺ. Namun mereka tetap mengikutinya, bahkan ridha atas apa yang mereka lakukan dengan tidak berhukum kepada syariat Islam. Tidak ada rasa pengingkaran sedikitpun di dalam hatinya, jadilah mereka para pendosa atas keikutsertaan dan keridhaannya terhadap mereka. Sebagaimana yang disabdakan Nabi ﷺ,
“Kalian akan dipimpin amir-amir, lalu kalian menganggap (sebagian amalan mereka) baik, dan sebagaian lainnya mungkar. Maka, siapa yang membenci (amalan-amalan mungkar mereka), ia terbebas (dari kemunafikan), dan barangsiapa yang mengingkari, ia terhindar (dari dosa). Namun siapa yang merelakan (amalan mungkar para penguasa dengan hati) dan mengikuti (tindakan mungkar mereka, ia turut menanggung dosa).” (HR. Muslim no.1854)

Ketaatan Mutlak Hanya Milik Allah dan Rasul-Nya
Jadi, apapun yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya seorang hamba wajib mematuhinya secara mutlak. Berbeda dengan ulil amri ataupun penguasa, ketaatan kepada mereka hanya ketika berlandaskan syariat Islam, yang tidak lain adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Maka, jikalau para penguasa tidak menjalankan hukum yang berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah ia tidak berhak untuk ditaati. Ketaatan kepada mereka terikat dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, alias tidak menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Al-Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan tentang ayat 59 dari surat An-Nisa dari At-Thaibi ia berkata, “Kata kerja yang yang diulang pada firman-Nya, ‘Dan taatilah (Muahammad),’ adalah isyarat bahwa Rasulullah ﷺ harus ditaati secara mutlak, sementara kata kerja yang sama tidak diulang pada kata ulil amri mengisyaratkan bahwa ada di antara para pemimpin yang tidak wajib ditaati. Setelah itu, Allah menjelaskan melalui firman-Nya, ‘Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu,’ seakan dikatakan, ‘Jika mereka tidak menerapkan kebenaran, jangan mentaati mereka dan kembalikan apa yang kalian perselisihkan kepada hukum Allah dan Rasul-Nya.”

Batasan Taat Kepada Penguasa
Oleh karena ketaatan kepada penguasa tidak bersifat mutlak, tentunya ia mempunyai batasan tertentu dalam memberikan ketaatan kepada mereka. Sehingga, kita tidak salah kaprah dan akhirnya berujung kepada petaka. Dengan begitu ada tiga batasan yang tidak boleh dilangkahi atau bahkan sengaja masuk ke dalamnya, ketika memberikan ketaatan kepada penguasa.
Pertama, tidak menyuruh kepada kemaksiatan, maka ia berhak ditaati jika tidak maka tidak ada ketaatan kepadanya. Rasulullah ﷺ bersabda, “Seseorang wajib mendengar dan taat dalam apapun yang ia suka ataupun tidak, kecuali jika ia diperintahkan untuk melakukan kemaksiatan, (saat itu) tidak ada kewajiban untuk mendengar dan taat.” (HR. Bukhari, no.6725)
Kedua, tidak menghalalkan yang diharamkan dan tidak mengharamkan yang dihalalkan oleh syariat Islam. Maka, para penguasa berhak ditaati, tapi kalau sebaliknya, tidak ada ketaatn kepadanya. Sebab, siapa saja yang taat kepada para pemimpin ataupun ulama yang berbuat demikian, maka sungguh ia telah menjadikan mereka sebagai tuhan.
Ketiga, berhukum dengan syariat islam. Jika seorang pemimpin dan penguasa tidak berhukum dengan syariat Islam, maka tidak ada ketaatan kepadanya. Sebab, merupakan sebuah kewajiban adalah berhukum kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, dalam setiap perselisihan, persengketaan, dan urusan-urusan kehidupan lainnya. Sebagaimana firman Allah ﷻ yang artinya, “dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka…” (QS. Al-Maidah: 49).
Dengan demikian, jelaslah sudah bagaimana bentuk ketaatan yang layak diberikan kepada para penguasa. Tidak boleh melewati batas yang telah ditetapkan, kalaupun sewaktu-waktu harus melewatinya, karena adanya paksaan yang tidak dapat dihindari, setidaknya hati orang tersebut mengingkari hal tersebut. Agar supaya ia tidak mendapat malapetaka akibat taat kepada para penguasa di setiap zamannya.
Referensi :
  • Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’anul ‘Azhim,
  • Ibnu Hajar, Fathul Baari, hlm.112
  • Shalih Fauzan, Silsilatu Syarh Rasailil Imam al-Mujaddid, hlm.2/145
  • Shalih Fauzan, al-Irsyad Ila Shahihil I’tiqad War Raddu ‘Ala Ahlisy Syirki Wal Ilhad, hlm.89
  • Muhammad bin Surur, as-Syaihk al-Albani Wa Manhajuhu Fi Taqriri Masailil I’tiqad, (Mesir: Darul Faruq, 1430 H), hlm.632
 Penulis : Asy-Syatiri
Editor : Arju


Sumber: www.kiblat.net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar