Seorang sahabat bernama Ali (Bukan nama sebenarnya) bercerita kepada penulis. Dia pernah silaturahmi ke sebuah lembaga dakwah yang dipimpin oleh Rozaq. Setelah berbincang-bincang cukup lama tentang perkembangan lembaga dakwah Rozaq, Ali tiba-tiba bertanya, “Bapak Rozaq, sejauh pengamatan saya, dahulu konten-konten dakwah yang diproduksi oleh lembaga bapak rajin mengupas Syiah. Sekarang kok sepertinya sudah tidak ada pak?”. Dengan santai Rozaq berkata, “Oh iya mas Ali, kita sudah tidak produksi lagi tema-tema Syiah, soalnya ‘ulil amri’ kita melarangnya.” Tak lama setelah itu Ali pamit dengan sejuta tanda tanya di kepala.
Ali heran dengan sikap Rozaq dan lembaganya. Padahal, dulu mereka kencang sekali meneriakkan kesesatan Syiah. Tapi jawaban Rozaq membuat Ali paham, pemerintah ini mereka anggap sebagai ulil amri yang setiap perintahnya harus ditaati oleh Rozaq dan teman-temanya meski bertentangan dengan nilai agama dan hati nurani.
Pantas saja Ali bingung, karena menurut Ali pemahaman Rozaq dan lembaganya bisa mengeliminasi banyak dari hal-hal fundametal di agama Islam. Sebut saja Nahi Munkar, Jihad Fi Sabilillah dan hal-hal pokok lainnya bisa saja ditinggalkan karena ulil amri tidak mengizinkan.
Apa yang terjadi pada Rozaq dan lembaganya disebabkan karena kekeliruan mengidentifkasi ulil amri. Mungkin bagi Rozaq dan lembaganya setiap yang menjadi pemerintah dianggap sebagai ulil amri sehingga wajib ditaati sebagaimana taatnya para salaf kepada para khalifah. Sebenarnya seperti apakah batasan ulil amri di dalam Islam? Apakah segampang itu seseorang menjadi ulil amri?
Memaknai ulil amri, Ibnu Taimiyah berkata :
وَأُولُو الْأَمْرِ أَصْحَابُ الْأَمْرِ وَذَوُوه ؛ وَهُمْ
الَّذِينَ يَأْمُرُونَ النَّاسَ ؛ وَذَلِكَ يَشْتَرِكُ فِيهِ أَهْلُ
الْيَدِ وَالْقُدْرَةِ وَأَهْلُ الْعِلْمِ وَالْكَلَامِ ؛ فَلِهَذَا كَانَ
أُولُوا الْأَمْرِ صِنْفَيْنِ : الْعُلَمَاءُ ؛ وَالْأُمَرَاءُ . فَإِذَا
صَلَحُوا صَلَحَ النَّاسُ وَإِذَا فَسَدُوا فَسَدَ النَّاسُ
Artinya, “Ulil
Amri adalah mereka yang memiliki kekuasaan dan berhak atasnya. Mereka
yang berhak memerintah manusia. Kondisi ini dimiliki oleh pemilik
kekuatan dan kekuasaan dan ahlul ilmi. Oleh karena itu ulil amri terdiri
dari dua komponen. Ulama dan umara. Jika kedunya baik maka rakyat akan
baik, namun jika mereka rusak maka rakyatnya ikut rusak.” (Majmu Fatawa 28/170)Al Mawardi berkata, “Imamah (sebutan lain untuk ulil amri) adalah pengganti tugas kenabian dalam menjaga agama (حفظ الدين) dan mengatur dunia dengan agama (سياسة الدنيا به) dan Imamah tersebut diberikan kepada orang yang melakukan tugas tersebut terhadap umat.” (Al Ahkam As Sulthoniyah, hal 3)
Ibnu Khaldun berkata, “Pada dasarnya Imamah itu adalah mandat dari pemilik syariat untuk menjaga agama dan mengurus urusan duniawi dengan agama.” (Al-Muqoddimah, hal 195. Dinukil dari Al-Imamah Al-Udzma inda Ahl As-Sunnah wa Al-Jamaah, hal. 29)
Imam Asy-Syaukani memberikan batasan sejauh mana seorang ulil amri harus ditaati, beliau berkata :
وأولي الأمر هم : الأئمة ، والسلاطين ، والقضاة ، وكل من كانت له ولاية شرعية لا ولاية طاغوتية
Artinya, “Ulil amri adalah para imam, penguasa, hakim dan setiap
orang yang memiliki kekuasaan syar’i dan bukan kekuasaan yang
bersifatkan thoghut.” (Fathul Qadir, Asy-Syaukani, 1/556)Apakah yang dimaksud Imam Asy Syaukani dengan kekuasaan yang bersifat thoghut? Kata thoghut secara bahasa berarti melampaui batas. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengatakan, :
والطاغوت
: عام في كل ما عبد من دون الله، فكل ما عبد من دون الله، ورضي بالعبادة،
من معبود، أو متبوع، أو مطاع في غير طاعة الله ورسوله، فهو طاغوت ؛
والطواغيت كثيرة، ورؤوسهم خمسة …………الثاني : الحاكم الجائر، المغير لأحكام
الله تعالى، والدليل قوله تعالى : ( ألم تر إلى الذين يزعمون أنهم آمنوا
بما أنزل إليك وما أنزل من قبلك يريدون أن يتحاكموا إلى الطاغوت وقد أمروا
أن يكفروا به ويريد الشيطان أن يضلهم ضلالاً بعيداً) النساء 60
Artinya, “Thoghut adalah nama umum bagi setiap yang diibadahi selain Allah. Segala yang diibadahi selain Allah dan dia ridho, baik itu diibadahi, diikuti, ditaati dalam ketaatan selain Allah maka itu adalah thoghut. Thoghut itu banyak, pembesarnya ada 5…yang kedua adalah Penguasa zalim yang mengganti hukum-hukum Allah.
Dalilnya firman Allah, ‘Apakah kalian tidak memperhatikan orang-orang
yang mengaku beriman dengan apa yang diturunkan Allah kepadamu
(Muhammad) dan apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhukum
kpada thoghut padahal mereka diperintah mengingkarinya. Dan setan
bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesetan sejauh-jauhnya.’ QS An Nisaa 60.” (Durar As Saniyah 1/150)Penjelasan syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab tentang makna thoghut membuat perkataan Asy-Syaukani menjadi jelas. Maka, dapat dipahami bahwa ulil amri yang sah secara syar’i adalah bilamana kekuasaannya bersandarkan kepada syariat Allah. Dan menjadi tidak sah bila disandarkan kepada selain hukum Allah.
Sekularisme, Defenisi dan Sejarahnya
Kembali kepada Rozaq dan lembaganya, apa yang dilakukan oleh ulil amrinya Rozaq, membuat kita bertanya seperti apa sebenarnya hakikat ulil amrinya Rozaq. Kita tahu persoalan Syiah adalah persoalan yang cukup penting bagi umat Islam. Melihat dari gaya yang dilakukan oleh amrinya Rozaq, maka ada dua kemungkinan. Bisa saja ulil amrinya Rozaq seorang penganut Syiah atau seorang sekuler yang menolak agama masuk ke ranah politik.
Syaikh Muhammad bin Syakir Asy Syarif di dalam bukunya yang berjudul Ilmaniyah wa Tsimaruha Al Khobitsah menyebutkan beberapa pengertian Sekularisme. Sekularisme (dalam bahasa Arab disebut Ilmaniyah) dalam kamus Inggris berarti sesuatu yang bersifat duniawi atau materi. Atau sesuatu yang terlepas dari nilai-nilai agama.” (Ilmaniyah wa Tsimaruha Al Khobitsah : 6)
Mengutip dari Ensiklopedia Britania, Muhammad Qutub berkata, “Sekularisme adalah sebuah gerakan sosial yang bertujuan untuk memalingkan manusia dari perhatian terhadap akhirat menuju perhatian terhadap kehidupan dunia semata.” (Madzahib Fikriyah Muashiroh, hal 445)
Sekularisme modern muncul pada abad pertengahan di Eropa. Tanah Eropa adalah ladang yang subur bagi pertumbuhan dan perkembangan Sekularisme. Perancis pasca revolusi adalah negara pertama yang berdiri di atas nilai-nilai Sekularisme.
Pada dasarnya bangsa Eropa sudah lama mempraktekkan Sekularisme. Karena praktek beragama yang mereka lakukan bukanlah representasi dari wahyu yang Allah turunkan kepada Nabi Isa –alaihis salam-. Praktek beragama kaum Nasrani saat itu sudah terjadi penyelewengan, penyimpangan dan distorsi. Sehingga seringkali dogma agama tidak mengakomodir kemaslahatan mereka.
Hal yang tidak kalah pentingnya adalah terjadinya pertentangan antara ajaran gereja yang menjadi landasan kekaisaran dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Bahkan gereja melalui tangan kekaisaran menerapkan kebijakan yang represif pada setiap perkembangan ilmu pengetahuan yang menyelisihi gereja. Sebut saja Galileo Galilei dan Copernicus yang dihukum mati karena mempertahankan teori mereka.
Kondisi ini menyebabkan rakyat mulai mencari jalan keluar dari hegemoni gereja, maka pilihan yang muncul saat itu adalah lari dari dogma-dogma agama. Karena menurut mereka agama memerangi ilmu pengetahuan dan menjadi beking para penguasa durjana. Oleh karena itu mereka mencoba menjauhkan agama dari politik, ekonomi, ilmu pengetahuan dan norma-norma. (Disarikan dari buku Al Ilmaniyah wa Tsimar uha Al Khobits 9-11)
Memisahkan Agama dari Negara
Islam adalah agama yang komprehensif, mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Tidaklah ada ruang dalam kehidupan manusia melainkan Islam telah mengaturnya. Islam adalah akidah, syariat, agama, negara, pedoman hidup, budaya dan tuntunan hidup.
Termasuk di dalamnya Islam megatur urusan bernegara dan politik. Hal pertama yang mengindikasikan hal itu adalah perintah-perintah Allah di dalam Al-Quran kepada umat Islam untuk menjadikan hukum Allah sebagai landasan memustuskan perkara.
Allah SWT berfirman :
وَأَنِ احْكُم بَيْنَهُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ وَلَا
تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَن يَفْتِنُوكَ عَن بَعْضِ مَا
أَنزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ فَإِن تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ
اللَّهُ أَن يُصِيبَهُم بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ ۗ وَإِنَّ كَثِيرًا مِّنَ
النَّاسِ لَفَاسِقُونَ
Artinya, “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka
sesuai dengan apa yang diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah dari mereka, supaya mereka tidak
memalingkanmu dari sebagian apa yang diturunkan Allah kepadamu…(QS Al Maidah : 49)Bahkan Allah mengancam orang-orang yang tidak meninggalkan hukum Allah dengan 3 ancaman, kafir, zalim dan Fasiq. Allah SWT berfirman :
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Artinya, “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan selain hukum Allah maka mereka adalah orang kafir.” (QS Al Maidah 44)Tidak hanya ayat, perilaku Rasulullah SAW pun menggambarkan bahwa beliau adalah seorang kepala Negara yang mengurusi urusan kenegaraan. Mengadakan perjanjian dengan Yahudi Madinah, berjihad melawan musuh-musuh Islam, mengadakan perjanjian Hudaibiyah, mengutus diplomat ke negara sekitar adalah serangkaian prilaku politik Nabi Muhammad SAW.
Rasulullah merajam pelaku zina, memutuskan sengketa, mengatur urusan ekonomi, distrubusi zakat, ghanimah dan hal-hal lainnya yang menjelaskan posisi Rasulullah SAW sebagai kepala Negara.
Peran ini terus berlanjut hingga para khulafa’ Rasyidin, Daulah Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah hingga kekhalifahan Turki Utsmani. Panduan-panduan dalam mengatur Negara juga ditulis oleh para ulama, di antaranya Al Ahkam Sulthoniyah karangan Imam Al Mawardi dan Abu Ya’la juga memiliki buku yang sama judulnya, Siyasah Syar’iyyah Ibnu Taimiyah, Thuruq Hukmiyah Ibnul Qayyim Aljauziyyah dan masih banyak lagi.
Oleh karena itu, arus Sekularisme yang menginginkan adanya sterilisasi agama dari kehidupan bernegara amat sangat bertentangan dengan Islam. Walaupun sekilas terlihat bahwa mereka menjunjung tinggi kebebasan beragama. Karena kebebasan beragama yang mereka maksud adalah kebebasan beragama pada level personal dan ibadah ritual.
Pada dasarnya memisahkan antara agama dan negara sudah dilakukan sejak Romawi –yang dulunya paganis- menganut agama Nasrani. Muhammad Qutub mengatakan, “Kami sudah jelaskan di bab sebelumnya bahwa memisahkan antara agama dan Negara terjadi pada saat bangsa Romawi memeluk agama Kristen. Saat itu mereka menganut Kristen hanya sebagai akidah saja (keyakinan). Sementara mereka hanya mengambil syariat (tata kelola kehidupan) hanya pada ranah I ahwal syakhshiyah (Urusan pernikahan dan yang semisal). Adapun pada tatanan kriminal, pemerintahan, hukum yang mengatur hubungan rakyat dan penguasa dan urusan-urusan lainnya diatur oleh undang-undang Romawi dan tidak menggunakan syariat yang ada di Taurat dan Injil.” (Madzahib Fikriyah Muashiroh, hal 463)
Hal senada direkomendasikan oleh Snouck Hugronje kepada pemerintah Hindia Belanda saat menjajah Indonesia. Snouck membagi Islam menjadi 3 bagian. Ranah ibadah ritual, Muamalah dan politik. Ibadah ritual diberi warna hijau, Muamalah kuning sedangkan politik merah.
Maksudnya, Dalam bidang agama (ritual) Pemerintah Hindia Belanda hendaknya memberikan kebebasa kepada umat Islam Indonesia untuk menjalankan agamanya sepanjang tidak mengganggu kekuasaan pemerintah, menggalakkan asosiasi dalam bidang kemasyarakatan dan menindak tegas setiap faktor yang bisa mendorong timbunya perlawanan di ranah politik. (Lapsus Syamina edisi 1 Januari 2017, Strategi Snouck Mengalahkan Jihad di Nusantara, hal 12)
Memisahkan agama dari negara, menjadikan sebuah negara buta dalam bersikap. Buta karena tidak lagi mengenal halal dan haram. Yang ada hanyalah pertimbangan untung rugi. Hal ini berbeda dengan para penguasa yang berhukum dengan syariat Allah walaupun terkadang mereka berbuat zalim.
Sebut saja Hajjaj bin Yusuf Ats Tsaqafi, kezalimannya terkenal sepanjang sejarah. Akan tetapi saat diingatkan kesalahan sikapnya dengan ayat Allah dia angsung megoreksinya. Suatu ketika Hajjaj ingin menghukum seseorang karena tindakan criminal yang dilakukan kerabatnya. Seketika itu ada yang mengingatkan dia dengan firman Allah, “Dan seseorang tidak menanggung dosa yang dilakukan oleh orang lain.” (Al-An’am 164). Tatkala mendengar ayat itu Hajja mengurungkan niatnya. dia tidak terpikir untuk mengatakan, “Itu kan petunjuk agama, sementara yang akan saya lakukan adalah tindakn politik.” (Al Ilmaniyah wa Dholalatu Fashluddin anis Siayasah : 31)
Pendapat Para Ulama Tentang Sekularisme
Tidak bisa kita pungkiri bahwa Sekulerisme yang terjadi di Eropa masuk ke negeri-negeri kaum Muslimin melalui Kolonialisme. Gerakan ini masuk ke negeri kaum muslimin dengan dua cara. Melalui para orientalis dan putra-putra kaum muslimin yang menempuh pendidikan di Eropa.
Karena berbahayanya paham seperti ini bagi umat Islam terkhusus kalangan awam, maka para ulama bersikap dengan menjelaskan pandangan Islam terhadap Sekularisme itu sendiri.
Syaikh Muhammad Al Khudr Husain (Mantan Grand Mufti Al Azhar) berkata, “Memisahkan agama dari politik adalah upaya menghancurkan sebagian besar hakikat din ini. Tidaklah seorang muslim berani melakukannya kecuali dia sudah tidak Islam lagi (murtad).” (Makalah Al Ilmaniyah Wa Dholalatu Fashlid Din anid Daulah)
Sementara Ulama Lajnah Daimah juga mengeluarkan Fatwa menyikapi Sekularisme, “Apa yang disebut dengan Sekularisme yang merupakan seruan untuk memisahkan agama dari negara dan hanya mencukupkan agama pada ruang ibadah, meningalkan agama dalam urusan muamalat dan yang lainnya (politik, peradilan –penj), mengakui kebebasan beragama, siapa yang mau Islam silahkan dan yang mau keluar dari Islam (murtad) dan memeluk aliran-aliran dan agama yang batil juga dipersilahkan. Pemahaman-pemahan seperti ini dan yang sejenis adalah pemahaman yang rusak.”
Di halaman berikutnya disebutkan, “Seruan ini (Sekularisme) adalah seruan penuh dosa, kufur dan wajib memperingatkan (umat Islam) darinya, dan membogkar kepalsuan mereka. Perlu menjelaskan bahayanya dan berhati-hati terhadap talbis yang dilancarkan penganutnya. Karena kburukannya amat besar.” (Fatawa Lajnah Daimah 2/144-145)
Menyinggung Negara yang berpaham Sekular, Syaikh Utsaimin berkata, “Sebuah Negara jika tidak menjalankan aturan agama maka negara tersebut akan rugi –Maha suci Allah yang Maha Agung-. Setiap ayat-ayat Al-Quran dan hadits-hadits sunah menunjukkan bahwa Islam adalah Negara. Maknanya wajib bagi setiap negara menegakkan Islam terhadap pemerintahnya, dalam undang-undangnya dan terhadap rakyatnya.”(Liqo’ Bab Maftuh, kaset 235, menit ke 21)
Menimbang keabsahan Taat kepada Pemimpin Sekuler
Menyoal ketaatan Rozaq kepada ulil amrinya yang salah alamat, ada baiknya Rozaq melihat lagi konsep taat kepada ulil amri di dalam Islam. Ketaatan kepada ulil amri wajib dilaksanakan jika perintahnya sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya. Dalam konteks ini, mentaati ulil amri untuk tidak mendakwahkan kesesatan Syiah adalah contoh ketaatan yang salah kaprah.
Menjadi salah kaprah, karena ketaatan itu hanya dalam hal yang makruf (baik menurut agama). Itupun jika ulil amrinya sah secara agama dengan menegakkan hukum Allah. Jika ulil amrinya seorang sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan negara, meninggalkan syariat Allah, maka yang berlaku adalah perkataan Syaikh Abdullah bin Abdul Hamid Al Atsary :
Artinya,“Adapun jika (para penguasa) menonaktifkan syariat Allah, tidak berhukum dengannya dan berhukum dengan yang lain maka mereka telah keluar dari ketaatan kaum muslim dan manusia tidak wajib menaatinya. Karena mereka telah menyia-nyiakan tujuan imamah (kepemimpinan) yang menjadi alas an pengangkatannya, sehingga dia berhak didengar, ditaati dan tidak boleh keluar darinya (tidak boleh memberontaknya).
Ulil Amri berhak mendapatkan itu semua (ketaatan) dikarenakan mereka melaksanakan kepentingan (urusan) kaum muslim, menjaga dan menyebarkan agama, melaksanakan hukum-hukum, menjaga perbatasan, memerangi orang-orang yang menolak Islam setelah mendakwahinya, mencintai kaum muslimin dan memusuhi orang-orang kafir.
Jika dia tidak menjaga agama atau tidak melaksanakan urusan kaum muslim maka telah hilang darinya hak kepemimpinan. Dan wajib bagi umat (dalam hal ini diwakili oleh Ahlul Halli Wal ‘Aqdi, karena kepada merekalah kembalinya kendali permasalahan) untuk mencopotnya dan menggantinya dengan yang lain yang punya kapabilitas untuk merealisasikan tujuan kepemimpinan.
Ketika Ahli Sunnah tidak memperbolehkan keluar dari para pemimpin yang dzalim dan fasik -karena kejahatan dan kedzaliman tidak berarti menyia-nyiakan agama- maka yang dimaksud mereka adalah pemimpin yang berhukum dengan syariat Allah. Kalangan As Salaf As Shalih tidak mengenal istilah pemimpin (ulil amri pent-) yang tidak menjaga agama. Menurut mereka pemimpin seperti ini bukanlah ulil amri. Yang dimaksud kepemimpinan (ulil amri) adalah menegakan agama. Setelah itu baru ada yang namanya kepemimpinan yang baik dan kepemimpinan yang buruk.” (Al Wajiz fi Aqidati Salafis Sholih Ahlussunnah wal Jamaah, hal 103. Buku ini dimuraja’ah oleh Syaikh Sholih Fauzan, Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al Jibrin, Syaikh Sholih bin Abdul Azis Alu Syaikh, Syaikh Su’ud Syuraim dll)
Sementara itu syaikhul Islam Ibnu Tamiyah di dalam Minhajus Sunnah An Nabawiyah memberikan batasan ketaatan terhadap pemimpin. beliau berkata, “Sesungguhnya kepemimpinan (Imarah) (yang wajib ditaati-pent) adalah selama mereka menegakkan agama. kemudian, ada imam yang baik dan ada imam yang jahat. Ali bin Abi Thalib berkata, “Manusia (umat Islam-pener) wajib memiliki pemimpin. Bisa yang baik maupun yang buruk. Ditanyakan kepadanya, “kami paham maksud pemimpin yang baik, tapi pemimpin yang buruk?” Ali menjawab, “Pemimpin yang buruk adalah yang memberikan keamanan di jalan, menegakkan hudud, berjihad melawan musuh dan mendistribusikan fai’.” (Minhajus Sunnah An Nabawiyah 1/143)
di dalam nukilan di atas Ibnu Taimiyah ingin menyatakan bahwa syarat seorang pemimpin wajib ditaati adalah menegakkan agama (iqamatuddin), setelah terpenuhi syarat itu maka barulah ketaatan menjadi wajib bagi kaum muslimin. Hal ini senada dengan hadits :
إن أمر عليكم عبد مجدع حسبتها قالت أسود يقودكم بكتاب الله فاسمعوا له وأطيعوا
Artinya, “Jika kalian dipimpin oleh seorang hamba sahaya yang buruk rupa – saya kira perawi menambahkan kata hitam- yang memimpin kalian dengan kitab Allah, maka dengarkanlah dan taatilah.” (HR Muslim)Kesimpulan
Ulil amri adalah pelanjut estafet tugas nabi Muhmmad SAW. Tujuan (maqashid) utamanya adalah menjaga agama dan mengatur segala urusan dunia berdasarkan agama. Posisi seorang ulil amri menjadi sah terhadap umat Islam, bilamana dia menegakkan hukum Allah. Bukan ulil amri yang memimpin secara thoghut (meninggalkan hukum Allah).
Ulil amri yang meninggalkan hukum Allah, memisahkan agama dari negara adalah ulil amri yang sekuler. Tidak dapat dipungkiri bahwa Sekularisme barat yang membuang kehidupan agama dari negara juga sudah merasuk ke negeri kaum muslimin. Bahaya yang ditimbulkannya cukup dahsyat hingga merusak tatanan pemerintahan di negeri-negeri kaum muslimin. Sehingga ta jarang kita mendapati di negeri-negeri kaum muslimin yang menolak pemberlakuan hukum Allah, padahal itu perintah ilahi.
Lantas, Apakah pantas penguasa sekuler disebut ulil amri? Apakah mereka layak mendapatkan ketaatan kaum muslimin, seperti taatnya mereka kepada para khalifah? Bukankah di dalam Islam ketaatan terhadap ulil amri itu dibatasi selama mereka menegakkan hukum Allah? Wallahu a’lam bissowab.
Penulis : Arju Khoiro
Editor : Aiman
Sumber: www.kiblat.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar