Kita yang sudah menjadi orang tua tentu senantiasa berharap, berdo’a dan berusaha semaksimal mungkin agar anak-anak kita kelak menjadi anak-anak yang shalih, anak-anak yang bermanfaat. Namun siapa yang bertanggung jawab menjadikan mereka anak shalih, apakah orang tua? Ataukah sekolah dan para gurunya?
Beruntungnya Orang Tua Yang Memiliki Anak Shalih
Sungguh beruntung dan berbahagialah orang tua yang telah mendidik anak mereka sehingga menjadi anak yang shalih, yang selalu membantu orang
tuanya, mendo’akan orang tuanya, membahagiakan mereka dan menjaga nama
baik kedua orang tua. Karena anak yang shalih akan senantiasa menjadi
investasi pahala, sehingga orang tua akan mendapat aliran pahala dari
anak shalih yang dimilikinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Apabila seorang telah meninggal dunia, maka seluruh amalnya
terputus kecuali tiga, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan
anak shalih yang mendo’akannya.” (HR. Muslim).
Demikian pula, kelak di hari kiamat, seorang hamba akan
terheran-heran, mengapa bisa dia meraih derajat yang tinggi padahal
dirinya merasa amalan yang dia lakukan dahulu di dunia tidaklah
seberapa, namun hal itu pun akhirnya diketahui bahwa derajat tinggi yang
diperolehnya tidak lain dikarenakan do’a ampunan yang dipanjatkan oleh
sang anak untuk dirinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Sesunguhnya Allah Ta’ala akan mengangkat derajat seorang
hamba yang shalih di surga. Kemudian dia akan berkata, “Wahai Rabb-ku,
bagaimana hal ini bisa terjadi padaku? Maka Allah menjawab, “Hal itu
dikarenakan do’a yang dipanjatkan anakmu agar kesalahanmu diampuni.”
(HR. Ahmad, hasan). Oleh karena itu, disebabkan pentingnya pembinaan dan
pendidikan sang anak sehingga bisa menjadi anak yang shalih, Allah
Ta’ala langsung membebankan tanggung jawab ini kepada kedua orang tua.
Allah Ta’ala berfirman dalam sebuah ayat yang telah kita ketahui bersama
(artinya), “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan
batu.”(At Tahrim: 6). Seorang tabi’in, Qatadah, ketika menafsirkan ayat
ini mengatakan, “Yakni, hendaklah engkau memerintahkan mereka untuk
berbuat taat kepada Allah dan melarang mereka dari berbuat durhaka
kepada-Nya. Dan hendaklah engkau menerapkan perintah Allah kepada mereka
dan perintahkan dan bantulah mereka untuk menjalankannya. Apabila
engkau melihat mereka berbuat maksiat kepada Allah, maka peringatkan dan
cegahlah mereka.” (Tafsir al-Quran al-’Azhim).
Demikian pula, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
memikulkan tanggung jawab pendidikan anak ini secara utuh kepada kedua
orang tua. Dari Ibnu radhiallahu ‘anhu, bahwa dia berkata, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin
dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang imam
adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggunjawabannya dan demikian juga
seorang pria adalah seorang pemimpin bagi keluarganya dan akan dimintai
pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.”(HR. Bukhari).
Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma berkata, “Didiklah
anakmu, karena sesungguhnya engkau akan dimintai pertanggungjawaban
mengenai pendidikan dan pengajaran yang telah engkau berikan kepadanya.
Dan dia juga akan ditanya mengenai kebaikan dirimu kepadanya serta
ketaatannya kepada dirimu.” (Tuhfah al Maudud).
Tanggung Jawab Orang Tua
Tanggung jawab pendidikan anak ini harus ditangani langsung
oleh kedua orang tua. Para pendidik yang mendidik anak di
sekolah–sekolah, hanyalah partner bagi orang tua dalam proses pendidikan
anak. Orang tua yang berusaha keras mendidik anaknya dalam lingkungan
ketaatan kepada Allah, maka pendidikan yang diberikannya tersebut
merupakan pemberian yang berharga bagi sang anak, meski terkadang hal
itu jarang disadari. Mengenai tanggung jawab pendidikan anak terdapat
perkataan yang berharga dari imam Abu al-Hamid al-Ghazali rahimahullah.
Beliau berkata, “Perlu diketahui bahwa metode untuk melatih/mendidik
anak-anak termasuk urusan yang paling penting dan harus mendapat
prioritas yang lebih dari urusan yang lainnya. Anak merupakan amanat di
tangan kedua orang tuanya dan qalbunya yang masih bersih merupakan
permata yang sangat berharga dan murni yang belum dibentuk dan diukir.
Dia menerima apa pun yang diukirkan padanya dan menyerap apa pun yang
ditanamkan padanya. Jika dia dibiasakan dan dididik untuk melakukan
kebaikan, niscaya dia akan tumbuh menjadi baik dan menjadi orang yang
bahagia di dunia dan akhirat. Dan setiap orang yang mendidiknya, baik
itu orang tua maupun para pendidiknya yang lain akan turut memperoleh
pahala sebagaimana sang anak memperoleh pahala atas amalan kebaikan yang
dilakukannya. Sebaliknya, jika dibiasakan dengan keburukan serta
ditelantarkan seperti hewan ternak, niscaya dia akan menjadi orang yang
celaka dan binasa serta dosa yang diperbuatnya turut ditanggung oleh
orang-orang yang berkewajiban mendidiknya” (Ihya Ulum al-Din).
Senada dengan ucapan al-Ghazali di atas adalah perkataan
al-Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah, “Siapa saja yang mengabaikan
pendidikan anaknya dalam hal-hal yang berguna baginya, lalu dia
membiarkan begitu saja, berarti dia telah berbuat kesalahan yang fatal.
Mayoritas penyebab kerusakan anak adalah akibat orang tua mengabaikan
mereka, serta tidak mengajarkan berbagai kewajiban dan ajaran agama.
Orang tua yang menelantarkan anak-anaknya ketika mereka kecil telah
membuat mereka tidak bermanfaat bagi diri sendiri dan bagi orang tua
ketika mereka telah dewasa. Ada orang tua yang mencela anaknya yang
durjana, lalu anaknya berkata, “Ayah, engkau durjana kepadaku ketika
kecil, maka aku pun durjana kepadamu setelah aku besar. Engkau
menelantarkanku ketika kecil, maka aku pun menelantarkanmu ketika engkau
tua renta.” (Tuhfah al-Maudud).
Orang Tua Shalih, Anak pun Shalih!
Hazm mengatakan, “Saya mendengar al-Hasan al-Bashri ditanya oleh Katsir bin Ziyad mengenai firman Allah Ta’ala, (artinya) “Ya Rabb kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.”(QS. Al Furqan: 74). Katsir bin Ziyad bertanya kepada al-Hasan, “Wahai Abu Sa’id, apakah yang dimaksud qurrata a’yun (penyenang hati) dalam ayat ini terjadi di dunia ataukah di akhirat? Maka al-Hasan pun menjawab, “Tidak, bahkan hal itu terjadi di dunia.” Katsir pun bertanya kembali, “Bagaimana bisa?” al-Hasan menjawab, “Demi Allah, Allah akan memperlihatkan kepada seorang hamba, istri, saudara dan kolega yang taat kepada Allah dan demi Allah tidak ada yang menyenangkan hati seorang muslim selain dirinya melihat anak, orang tua, kolega dan saudara yang tumbuh dalam ketaatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla.” (Tuhfah al Maudud).
Betapa indahnya, jika kita memandang anak-anak kita menjadi
anak yang shalih, karena hal itu salah satu penyejuk pandangan kita.
Namun yang patut kita perhatikan adalah faktor yang juga mengambil peran
penting dalam pembentukan keshalihan anak adalah keshalihan orang tua
itu sendiri. Jika kita menginginkan anak-anak shalih, maka kita juga
harus menjadi orang yang shalih. Ada pepatah Arab yang bagus mengenai
hal ini, “Bagaimana bisa bayangan itu lurus sementara bendanya bengkok?”
Kita selaku orang tua adalah bendanya sedangkan anak-anak kita adalah
bayangannya. Jika diri kita bengkok, maka anak pun akan bengkok dan
rusak. Dan sebaliknya, jika diri kita lurus, maka insya Allah anak-anak
akan lurus. Allah Ta’ala berfirman (artinya), “Keturunan itu sebagiannya
merupakan (turunan) dari yang lain.” (Ali Imran: 34). Maksud dari ayat
di atas adalah orang tua yang baik, sumber yang baik, insya Allah akan
menghasilkan keturunan yang baik pula. Keshalihan orang tua juga akan
memberikan manfaat positif, karena Allah akan menjaga sang anak. Allah
berfirman dalam surat al-Kahfi (artinya), “Adapun dinding rumah itu
adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada
harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang
yang saleh.” (QS. Al Kahfi: 82).
Dalam ayat ini diberitakan bahwa dikarenakan keshalihan
orang tua, Allah menjaga dan memelihara sang anak, serta tidak
mengecewakan orang tua. Oleh karenanya, keshalihan orang tua itu akan
berpengaruh pada sang anak, bahkan manfaat itu tidak terbatas pada sang
anak semata, tapi juga berdampak kepada cucu-cucunya sebagaimana
diriwayatkan oleh al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah bahwa yang dimaksud
” sedang ayahnya adalah seorang yang saleh ” dalam ayat tersebut adalah
kakek ketujuh dari dua anak tadi. Kelak di surga, Allah Ta’ala pun akan
mengumpulkan sang anak bersama orang tua mereka yang shalih, meskipun
amalan sang anak tidak dibanding amalan orang tua. Allah Ta’ala
berfirman (artinya) “Dan orang-orang yang beriman, dan anak cucu mereka
yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka
dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal
mereka. tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (Ath
Thuur: 21). Maka disini, Allah Ta’ala memasukkan anak-anak orang mukmin
ke dalam surga dengan syarat mereka juga beriman. Maka, betapa
menyenangkannya, jika kita berkumpul bersama keluarga kita di surga
sebagaimana kita berkumpul di dunia ini. Meskipun amal ibadah sang anak
tidak sepadan dengan kedua orang tuanya, amalnya kurang daripada orang
tuanya, namun Allah tetap memasukkan keturunannya ke dalam surga. Karena
apa? Karena keshalihan kedua orang tuanya. Maka, mari kita menjadikan
diri kita sebagai pribadi yang baik, taat kepada Allah dan shalih, kita
jalankan perintah-perintah Allah dan meninggalkan larangan-larangan-Nya
dengan ikhlas sehingga mudah-mudahan Allah Ta’ala akan menjaga dan
memelihara anak-anak kita.
—
Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim, ST. (Alumni Ma’had Al ‘Ilmi Yogyakarta)
Artikel Muslim.or.id dengan sedikit perubahan oleh redaksi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar