Pembaca yang dirahmati
Allah. Berbicara konsep ketuhanan, Islam adalah satu-satunya agama yang
menanamkan kepada penganutnya konsep ketuhanan yang bersifat tauhidi.
Artinya, dalam hal keyakinan (akidah) seorang muslim wajib meyakini
bahwa Allah Maha Esa, Esa dalam Zat-Nya, Esa dalam sifat-Nya, dan Esa
dalam perbuatan-Nya. Dalam Islam, konsep ketuhanan secara jelas dan
tegas dituangkan dalam surat al-Ikhlas, sebuah surat yang ringkas dan
sarat akan makna ketauhidan.
Tafsir Ringkas Surat al-Ikhlas
Sebagian ahli tafsir
menyampaikan suatu riwayat yang menerangkan bahwa surat ini diturunkan
untuk menjawab pertanyaan kaum musyrikin kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
perihal sifat dan nasab Tuhan yang beliau dakwahkan untuk disembah.
Untuk tujuan tersebut, surat ini diturunkan kepada beliau. Dalam surat
ini, pada ayat pertama, disampaikan bahwa Tuhan yang mereka tanyakan itu
adalah Allah al-Ahad, yang Maha Esa.
Terkait makna al-Ahad, Ibnu Katsir memaparkan bahwa “Dia-lah al-Wahid
al-Ahad, tidak ada yang setara dengan-Nya, tidak memiliki pembantu,
tanpa sekutu, serta tidak ada yang serupa dan sepadan dengan-Nya [Tafsir
Ibn Katsir : 8/527].
Pada ayat berikutnya ditegaskan bahwa Allah adalah ash-Shamad,
yaitu Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Mengingat Allah
senantiasa berada dalam kesibukan sebagaimana dinyatakan dalam surat
ar-Rahmaan ayat 29, adalah tepat jika Allah memiliki nama ash-Shamad , nama yang memiliki cakupan makna yang sangat luas karena memiliki arti as-Sayyid,
yang dijadikan tujuan atau sandaran, dan tidak ada seorang pun yang
berada di atas-Nya [Jaami’ al-Bayaan fii Takwiil al-Quraan 24/692].
Lebih lanjut pada ayat ketiga Allah berfirman (yang artinya), “Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan”.
Ayat ini menjelaskan bahwa tidak ada anak yang dilahirkan dari-Nya.
Demikian pula Allah tidaklah lahir dari sesuatu apa pun. Kemudian surat
ini diakhiri dengan firman-Nya (yang artinya), “Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia”
untuk memperkuat karena Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa tentu menuntut
penafian (peniadaan) keberadaan sesuatu yang setara dengan-Nya.
Gambaran tentang Tauhid
Meskipun hanya terdiri
dari empat ayat, namun kandungan yang terdapat dalam surat ini teramat
padat karena pondasi keimanan kepada Allah dijelaskan secara lugas dan
tegas. Selain tentang keesaan Allah, di dalamnya juga disampaikan
kandungan bahwa keesaan Allah menuntut pengesaan terhadap-Nya atau yang
lazim dikenal dengan tauhid. Hal ini merupakan konten atau muatan dakwah yang senantiasa disampaikan oleh seluruh nabi dan rasul yang diutus Allah Ta’ala [lihat QS. Al-Anbiya : 25 dan asy-Syura : 23].
Di awal surat pada ayat pertama, secara tegas dinyatakan bahwa Allah Ta’ala adalah al-Ahad,
Yang Mahaesa, tidak berbilang sebagaimana keyakinan kaum musyrikin. Dan
karena keesaan-Nya itulah Allah semata yang patut dan layak dijadikan
sesembahan bukan yang lain. Abu Bakr al-Jazaairi rahimahullah
mengatakan, “Rabb-ku adalah Allah, satu-satunya sesembahan yang berhak
ditujukan segala bentuk penghambaan dan peribadatan. Esa dalam Dzat-Nya,
sifat-sifat-Nya, dan perbuatan-Nya. Dengan demikian, tidak ada yang
serupa dan sepadan dengan-Nya dalam hal tersebut karena Dia-lah Sang
Pencipta dan Pemilik segala sesuatu di alam ini. Tidaklah patut sesuatu
yang diadakan dan diciptakan memiliki kedudukan seperti Pencipta-nya.
Dan Pencipta mereka adalah Allah, al-Ma’bud, satu-satunya Dzat
yang berhak disembah” [Aisaar at-Tafaasir 5/628]. Oleh karenanya, pada
ayat kedua dinyatakan bahwa Allah adalah ash-Shamad yang berarti
Tuhan yang segala sesuatu bergantung kepada-Nya. Seluruh makhluk di
langit dan di bumi memanjatkan permohonan kepada diri-Nya untuk
dikabulkan. Keberadaan berbagai sesembahan selain-Nya yang memiliki
ketidaksempurnaan, kelemahan, dan sifat ketergantungan menunjukkan bahwa
mereka semua tidak layak untuk disembah. Berbagai sesembahan tersebut
pada hakikatnya merupakan makhluk yang tidak memiliki kekuasaan dan
kemampuan sebagaimana kekuasaan dan kemampuan yang dimiliki Allah. Bahkan Allah lah yang Maha Kuasa menciptakan mereka dan menangani berbagai kebutuhan hamba.
Keesaan Allah juga
ditegaskan dalam ayat ketiga dan ayat keempat ketika dinyatakan bahwa
Allah tidak mengangkat seorang anak pun, tidak pula menjadi anak bagi
selain-Nya, dan bahwa tidak ada seorang pun yang sama, sepadan,
sebanding, setara dengan-Nya. Tidak ada sesuatu pun yang serupa
dengan-Nya. Hal tersebut menjadi bukti yang semakin mendukung bahwa hanya Tuhan yang memiliki sifat tersebut yang layak menjadi tujuan dalam segenap peribadahan.
Keesaan Allah dan perkara tauhid
merupakan pondasi keimanan dan perkara yang mendasar dalam Islam. Hal
tersebut telah dijelaskan dengan gamblang dan lugas dalam surat al
Ikhlash. Siapa pun yang menyelisihi ketentuan yang terdapat dalam surat ini maka ia telah mengingkari keesaan Allah, sehingga terjatuh dalam kekufuran atau kesyirikan.
Gambaran Berbagai Keyakinan yang Mengingkari Keesaan Allah
Al-Quran banyak
memberitakan berbagai keyakinan yang bertentangan dengan keesaan Allah,
khususnya yang bertentangan dengan tauhid. Di antara keyakinan tersebut
adalah :
-
Anggapan Tuhan lebih dari satu
Dalam al-Quran surat al-Anbiya ayat 22,
Allah berfirman membantah sebagian keyakinan kaum musyrikin bahwa di
alam ini terdapat Tuhan yang memiliki kekuasaan setara dengan Allah.
Allah berfirman (artinya), “Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa. Maka Mahasuci Allah yang memiliki ‘Arsy dari apa yang mereka sifatkan” [al-Anbiya : 22]. Diterangkan
oleh al-Qurthubiy dalam tafsirnya bahwa jika di langit dan di bumi ini
terdapat dua tuhan, maka tentu seluruh pengaturan alam semesta akan
rusak binasa dikarenakan adanya kemungkinan timbul dua keinginan yang
berlawanan dari dua tuhan tersebut. Ketika salah satu keinginan
tercapai, maka tuhan yang lain terkalahkan, lemah [al-Jaami’ li Ahkaam
al-Quraan 11/279]. Adakah tuhan yang benar itu lemah karena keinginannya
dikalahkan oleh keinginan tuhan yang lain? Anggapan semacam inilah yang
dibantah Allah sehingga di akhir ayat Dia menutup firman-Nya dengan tanzih (penyucian) untuk memberitakan bahwa Dia tidak memiliki sekutu yang setara dengan diri-Nya.
-
Anggapan Tuhan memiliki atau mengangkat anak
Allah memberitakan bahwa di antara
keyakinan kaum musyrikin adalah Tuhan memiliki atau mengangkat anak. Di
antara mereka ada yang berkeyakinan bahwa malaikat itulah anak Tuhan,
sebagian yang lain berkeyakinan orang shalih atau rasul adalah anak
Tuhan. Padahal keyakinan seperti itu adalah suatu kedustaan. Allah telah
berfirman akan hal itu dalam surat al-An’aam ayat 100 (artinya), “Dan
mereka (orang-orang musyrik) menjadikan jin itu sekutu bagi Allah,
padahal Allah-lah yang menciptakan jin-jin itu, dan mereka berbohong
(dengan mengatakan): “Bahwasanya Allah mempunyai anak laki-laki dan
perempuan”, tanpa (berdasar) ilmu pengetahuan. Maha Suci Allah dan Maha
Tinggi dari sifat-sifat yang mereka berikan.” Ath-Thabariy
mengatakan, “Mereka menjadikan jin sebagai sekutu bagi Allah dalam
peribadatan mereka. Padahal Allah sendiri yang menciptakan mereka tanpa
keberadaan suatu sekutu, pembantu, dan penolong. Mereka berbuat
kedustaan terhadap Allah dengan mengadakan bagi Allah anak laki-laki dan
perempuan tanpa mengetahui hakikat perkataan mereka. Semua itu
berangkat dari kebodohan mereka terhadap Allah dan keagungan-Nya.
Tidaklah patut bagi Tuhan memiliki anak laki-laki dan perempuan, tidak
pula patut memiliki istri, tidak pula patut bagi-Nya seorang yang
bersekutu dalam mengatur ciptaan-Nya” [Jaami’ al-Bayaan fii Takwil
al-Quraan 11/10].
Ada yang beranggapan kedekatan sebagai
“anak Allah” melatarbelakangi keyakinan bahwa mereka memiliki kedudukan
yang istimewa di sisi Allah. Allah Ta’ala berfirman (artinya), “Orang-orang
Yahudi dan Nasrani mengatakan: “Kami ini adalah anak-anak Allah dan
kekasih-kekasih-Nya”. Katakanlah: “Maka mengapa Allah menyiksa kamu
karena dosa-dosamu?” (kamu bukanlah anak-anak Allah dan
kekasih-kekasih-Nya), tetapi kamu adalah manusia (biasa) diantara
orang-orang yang diciptakan-Nya, dan mengampuni siapa yang
dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya, dan kepunyaan
Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa-apa yang ada diantara
keduanya, dan kepada Allah-lah kembali (segala sesuatu)” [al-Maaidah
: 18]. Latar belakang mengapa mereka berkata bahwa diri mereka adalah
anak-anak Allah dan kekasih-kekasihnya dikemukakan oleh Ibnu Katsir rahimahullah, yaitu :
-
Mereka berkata demikian karena berpandangan bahwa mereka adalah orang-orang yang dekat kepada Allah seperti kedekatan orang tua dengan anaknya,
-
Mereka berkata demikian bahwa mereka adalah pengikut-pengikut anak-anak Allah karena sebagaimana diketahui bahwa Yahudi berkeyakinan bahwa Uzair adalah anak Allah seperti keyakinan Nashrani yang berkata Isa adalah anak Allah, atau
-
Mereka berkata demikian karena keliru dalam memahami perkataan “anak” dan kekasih” yang terdapat dalam kitab-kitab suci mereka.
Apapun yang
melatarbelakangi hal tersebut, ayat di atas membantah kedustaan mereka
yang bertujuan untuk membenarkan kesesatan dan kekafiran yang mereka
kerjakan.
Khusus terkait
kekeliruan Yahudi dan Nasrani dalam memahami kata “anak” yang terdapat
dalam kitab suci mereka, maka Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ketika Allah
berfirman kepada hamba-Nya, Israil, “Engkau adalah anakku dari seorang
perawan”, kaum Yahudi telah menafsirkannya dengan tafsiran yang tidak
pada tempatnya sehingga mereka pun menyimpangkannya. Mereka telah
dibantah oleh orang-orang Yahudi yang masuk Islam dan berakal sehat bahwa ungkapan tersebut digunakan sebagai bentuk penghormatan dan pemuliaan.
Hal ini seperti kaum Nashrani yang
mengutip perkataan Isa di kitab suci mereka ketika berkata,
“Sesungguhnya aku akan pergi kepada bapakku dan bapak kalian”. Kata
“bapak” yang dimaksud memiliki arti Rabb (Tuhan). Sehingga arti
perkataan Isa tersebut adalah “…Rabb-ku dan Rabb kalian”. Telah maklum,
bahwa kaum Nashrani tidak mengklaim sebagai anak Tuhan untuk diri mereka
sendiri sebagaimana klaim mereka terhadap Isa ‘alaihissalam bahwa beliau adalah anak Tuhan [Tafsir Ibn Katsir 3/68-69].
Kitab Suci Samawi Turut Mendukung Keesaan Allah
Telah disebutkan bahwa
tauhid merupakan seruan setiap nabi dan rasul. Oleh karena itu, meski
diyakini bahwa isi dari kitab-kitab samawi terdahulu telah mengalami
penyimpangan, namun terdapat beberapa dalil yang membenarkan keesaan
Allah, menyatakan ajaran tauhid, dan memperingatkan akan kesyirikan
berupa penyembahan kepada selain Allah.
Di antara dalil dari kitab suci samawi lainnya yang membenarkan hal tersebut adalah sebagai berikut:
-
Dalam Kitab Ulangan 4:35 disebutkan, “Engkau diberi melihatnya untuk mengetahui, bahwa Tuhan adalah Allah, tidak ada yang lain kecuali Dia”;
-
Dalam kitab yang sama, pada bagian 6:4 disebutkan, “Dengarlah, hai orang Israil : “Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu Mahaesa”;
-
Dalam Injil Matius 4:10 disebutkan, “Maka berkatalah Yesus (Isa) kepadanya: “Enyahlah, iblis! Sebab ada tertulis : engkau harus menyembah Tuhan, Allah-mu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau beribadah!” Hal yang serupa termaktub dalam Injil Lukas 4/8;
Semoga tulisan yang singkat ini dapat menambah keyakinan kita terhadap keesaan Allah. Sehingga
kita dapat mentauhidkan-Nya hingga akhir hayat kita, serta dapat
meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadah kita kepada-Nya. Aamiin.
Penulis : Muhammad Nur Ichwan Muslim, ST. (Alumni Ma’had Al ‘Ilmi Yogyakarta)
Sumber: buletin.muslim.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar