Menangis karena tidak bisa qiyamul lail lagi
Bagi orang-orang sholih, menegakkan
shalat bukan sekedar melaksanakan perintah Allah. Lebih dari itu,
melaksanakannya adalah kenikmatan yang sangat mereka rindukan meski dilakukan
dengan penuh kepayahan.
Mereka amat sedih jika tidak bisa
melakukan shalat lagi. Adalah Amir bin Abdullah, suatu saat ketika hendak
wafat, beliau menangis. Orang-orang yang datang pun bertanya, “Apakah anda
menangis karena merasakan sakit saat sakaratul maut ?”
Amir bin Abdullah menjawab, “Aku
menangis bukan karena sakitnya mati atau memberati dunia (takut meninggalkan
dunia karena kecintaan padanya), namun karena aku tidak akan bisa lagi
mendirikan qiyamul lail di musim dingin.” (shifat
ash-shafwah, 3/202)
Kebakaran pun tak menghentikan
shalatnya
Ibnu
syaudzab pernah menceritakan tentang khusyuknya
Muslim bin Yasar.
Jika
hendak shalat biasanya Muslim berpesan
kepada keluarganya, “Berbicaralah kalian, aku tidak akan mendengar
percakapan kalian.”
Hingga
suatu saat terjadi kebakan di rumah Muslim bin Yasar. Ternyata Muslim tetap
saja shalat. Para tetangga dan orang-orang berusaha memadamkannya hingga api
pun padam.
Setelah
Muslim bin Yasar selesai shalat, orang-orang menceritakan peristiwa tersebut.
Dengan tenang beliau menjawab, “Aku tidak merasakan.” (Tarikh al-Islam, 4/45)
Tidak mendengar kegaduhan di
sekitarnya
Amir
bin Abdullah, ketika ia sedang melaksanakan shalat, terkadang anak perempuannya
menabuh rebana. para wanita berbicara sesuka mereka di rumahnya. Namun Amir bin
Abdullah tidak mendengar semua itu.
Suatu
saat ada yang bertanya, apakah ada yang terlintas dalam fikirannya saat shalat
? Beliau menjawab, “Ya, yakni posisiku di hadapan Allah dan tempat kembaliku
menuju salah satu dari dua kampung (surga atau neraka).” (Ihya’ Ulumuddin, 1/242)
Bahkan panah pun tak
menghentikan shalatnya
Ada
dua sahabat dari kalangan Muhajirin dan Anshar yang sedang berjaga. Keduanya
bersepakat bahwa jika lelaki anshar giliran berjaga, maka lelaki muhajirin tidur.
Berikutnya akan bergantian.
Lelaki
anshar itu kemudian melaksanakan shalat. Rupanya salah satu pasukan musuh
mengetahui dan segera melepaskan anak panah ke arah sahabat yang sedang shalat
itu. Panah menancap. Namun dengan tenang, ia mencabut anak panah itu dan terus
melaksanakan shalat.
Musuh
kembali melepaskan anak panah. Sahabat anshar kembali mencabutnya. Hal itu
berulang sampai tiga kali, kemudian ia melakukan ruku’ dan sujud.
Setelah
selesai shalat, sahabat anshar membangunkan saudaranya. Mengetahui tubuh
sahabatnya berdarah-darah, lelaki muhajirin bertanya, “Subhanallah, Kenapa
engkau tidak membangunkanku sejak awal engkau terkena panah ?”
Sahabat
anshar menjawab, “Aku sedang membaca sebuah surat, dan aku enggan memutusnya.”
(Fiqh as-Shirah an-Nabawiyah, hal
194)
*Ringkasan dari Majalah Suara Hidayatullah Edisi VI/XXVIII/Oktober 2016,
hal. 52-53
Tidak ada komentar:
Posting Komentar