Kamis, 17 November 2016

Bahkan panah pun tak menghentikan shalatnya (Kisah Khusyu' Dalam Shalat)


Menangis karena tidak bisa qiyamul lail lagi
Bagi orang-orang sholih, menegakkan shalat bukan sekedar melaksanakan perintah Allah. Lebih dari itu, melaksanakannya adalah kenikmatan yang sangat mereka rindukan meski dilakukan dengan  penuh kepayahan.

Mereka amat sedih jika tidak bisa melakukan shalat lagi. Adalah Amir bin Abdullah, suatu saat ketika hendak wafat, beliau menangis. Orang-orang yang datang pun bertanya, “Apakah anda menangis karena merasakan sakit saat sakaratul maut ?”
Amir bin Abdullah menjawab, “Aku menangis bukan karena sakitnya mati atau memberati dunia (takut meninggalkan dunia karena kecintaan padanya), namun karena aku tidak akan bisa lagi mendirikan qiyamul lail di musim dingin.” (shifat ash-shafwah, 3/202)

Kebakaran pun tak menghentikan shalatnya
Ibnu syaudzab pernah menceritakan tentang khusyuknya  Muslim bin Yasar.
Jika hendak shalat biasanya Muslim berpesan  kepada keluarganya, “Berbicaralah kalian, aku tidak akan mendengar percakapan kalian.”

Hingga suatu saat terjadi kebakan di rumah Muslim bin Yasar. Ternyata Muslim tetap saja shalat. Para tetangga dan orang-orang berusaha memadamkannya hingga api pun padam.
Setelah Muslim bin Yasar selesai shalat, orang-orang menceritakan peristiwa tersebut. Dengan tenang beliau menjawab, “Aku tidak merasakan.” (Tarikh al-Islam, 4/45)

Tidak mendengar kegaduhan di sekitarnya
Amir bin Abdullah, ketika ia sedang melaksanakan shalat, terkadang anak perempuannya menabuh rebana. para wanita berbicara sesuka mereka di rumahnya. Namun Amir bin Abdullah tidak mendengar semua itu.

Suatu saat ada yang bertanya, apakah ada yang terlintas dalam fikirannya saat shalat ? Beliau menjawab, “Ya, yakni posisiku di hadapan Allah dan tempat kembaliku menuju salah satu dari dua kampung (surga atau neraka).” (Ihya’ Ulumuddin, 1/242)

Bahkan panah pun tak menghentikan shalatnya
Ada dua sahabat dari kalangan Muhajirin dan Anshar yang sedang berjaga. Keduanya bersepakat bahwa jika lelaki anshar giliran berjaga, maka lelaki muhajirin tidur. Berikutnya akan bergantian.
Lelaki anshar itu kemudian melaksanakan shalat. Rupanya salah satu pasukan musuh mengetahui dan segera melepaskan anak panah ke arah sahabat yang sedang shalat itu. Panah menancap. Namun dengan tenang, ia mencabut anak panah itu dan terus melaksanakan shalat.

Musuh kembali melepaskan anak panah. Sahabat anshar kembali mencabutnya. Hal itu berulang sampai tiga kali, kemudian ia melakukan ruku’ dan sujud.

Setelah selesai shalat, sahabat anshar membangunkan saudaranya. Mengetahui tubuh sahabatnya berdarah-darah, lelaki muhajirin bertanya, “Subhanallah, Kenapa engkau tidak membangunkanku sejak awal engkau terkena panah ?”


Sahabat anshar menjawab, “Aku sedang membaca sebuah surat, dan aku enggan memutusnya.” (Fiqh as-Shirah an-Nabawiyah, hal 194) 

*Ringkasan dari Majalah Suara Hidayatullah Edisi VI/XXVIII/Oktober 2016, hal. 52-53

Tidak ada komentar:

Posting Komentar