Senin, 30 Januari 2017

“Ulama Rabbani” vs “Ulama Syaithoni”?

(Gambar: Ilustrasi)

PERDEBATAN tentang hukum demonstrasi  sampai saat ini masih hangat. Sebagian ada yang mengharamkan  dan sebagian membolehkan (mubah).
Ulama yang mengharamkan dalilnya yaitu perbuatan tersebut termasuk perkara baru dan diada-adakan, karenanya ia  termasuk bid’ah.  Dasarnya adalah sabda Rasulullah yang artinya, ”Siapa saja yang membuat ajaran baru dalam agama ini dan bukan termasuk bagian darinya maka akan tertolak.” [HR Muttafaqun Alaih].
Selain itu demonstrasi juga pencetusnya adalah orang kafir, sehingga mengikuti mereka termasuk tasyabbuh (penyerupaan) dengan mereka. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. “Siapa saja yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka.” [HR Abu Dawud dengan sanad yang hasan]
Dasar yang lain yaitu demonstrasi secara umum tidak akan bisa digunakan untuk membela kebenaran dan mengugurkan kebatilan. Terbukti, meski seluruh dunia demonstrasi atas kebengisan Yahudi di Palestina, namun kebiadaban bangsa tersebut tidak berhenti. Ini menunjukkan kemungkaran tidak boleh diingkari dengan kemungkaran yang semisalnya. Tidak mungkin kemungkaran bisa diingkari dengan cara seperti ini.
Adapun demo yang dilakukan kepada penguasa adalah sebuah kekeliruan. Sebab menasihati pemerintah seyogyanya dilakukan secara rahasia dan tersembunyi seperti menziarahinya, menyuratinya, menelponnya, atau menghubunginya lewat temannya,dan semacamnya. Ini sesuai prinsip dakwah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Nabi bersabda, “Barang siapa yang ingin menasihati seorang penguasa, maka janganlah ia menampakkannya secara terang-terangan, akan tetapi hendaknya ia mengambil tangannya, dan berduan dengannya. Jika ia terima, maka itulah (yang diharap). Jika tidak, maka ia telah melaksanakan keawjiban atas dirinya.” [HR.Ibnu Abi Ashim dalam As-Sunnah).
Sedangkan ulama yang membolehkan demonstrasi  dalilnya adalah adanya tujuh puluh sahabiyyah yang mengadukan suami mereka kepada Nabi. Hadits ini diriwayatkan oleh An-Nasa`iy dalam al-Kubra, Al Baihaqi juga dalam al-Kubra serta Ath-Thabari dalam Tahdzib Al-Atsar. Hadits ini  dinilai sahih karena dalam riwayat tersebut ada Iyas bin Abdullah bin Abi Dzubab, seorang shahabi sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Hatim dan Abu Zur’ah. Kemudian dikuatkan lagi oleh riwayat Ummu Kultsum.
Demo tersebut dilakukan secara spontan tanpa koordinasi namun Nabi tidak melarangnya. Dari sini kemudian diambil kesimpulan, jika demo tanpa koordinasi dibolehkan berarti demo yang ada  korlapnya, ada pemberitahuan ke aparat dan sebagainya tentu lebih boleh lagi. Dalam ushul fiqh ini disebut mafhum muwafaqah.
Selain itu demo juga dilakukan oleh para fuqaha Hanbaliyyah dan Syafi’iyyah yang dipimpin oleh Abu Ishaq Asy-Syirazi di Bagdad yang menuntut ditutupnya tempat maksiat. Di tahun yang sama juga terjadi demo besar menuntut ditangkapnya penghina sahabat yang dibekingi seorang kepala polisi di Bagdad (Ibnu Al-Jauzi dalam kitab Al Muntazham fii Tarikh Al Muluk wa Al Umam vol. 16 hal. 139)
Ibnu Taimiyah berdemo bersama Syaikh Al-Fariqi dengan massa yang sangat banyak untuk menuntut ‘Assaf,  seorang Nashrani yang menghina Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam (Al-Hafidz Ibnu Katsir dalam kitabnya “Al-Bidayah wa An-Nihayah” 17/665-666).
Masalah Ijtihad, Kenapa harus Ekstrims?
Berdasar keterangan di atas bisa kita tarik kesimpulan bahwa hukum demonstrasi masuk wilayah ijtihad di kalangan para ulama. Dengan kata lain tidak ada ijma’ di kalangan mereka mengenai hukumnya.
Jika demikian berarti umat Islam dipersilahkan memilih salah satu dari kedua pendapat tersebut. Yang penting tidak boleh saling mencela atau menghina, apalagi bermusuhan.Yang berpendapat demonstrasi boleh, seyogyanya tidak mencela mereka yang tidak mau demo. Apalagi memaksanya. Demikian juga sebaliknya, yang berpendapat demonstrasi haram tidak boleh mencela yang demo. Keduanya harus saling menjaga mulut dan hati demi menjaga ukhuwah islamiyah.
Namun sayangnya, persoalan ini ternyata memunculkan masalah baru. Sebab sebagian orang menyematkan istilah “rabbani” kepada salah satu kelompok ulama yang berbeda pendapat tersebut.  Jika salah satu disebut “ulama rabbani” berarti pasti ada kebalikannya,  yaitu “ulama syaithoni”. Sebab lawan dari “rabbani” adalah “syaithoni”.
Penggunaan istilah “ulama rabbani” ini bisa menimbulkan masalah. Dalam wacana pemikiran Islam, istilah tersebut tidak popular bahkan tidak dikenal. Yang sudah diketahui dan dikenal oleh kaum muslimian yaitu istilah ulama shalih dan ulama su’ (jahat).
Karenanya, seyognyanya kita hati-hati menggunakan sebuah istilah sebab istilah sendiri mengandung sebuah nilai. Jika kita keliru menggunakannya, akibatnya akan fatal.
Sungguh tidak layak jika masalah ijtihad  kemudian dibawa pada kesimpulan yang terlalu ekstrim dan berlebihan dengan menggunakan istilah-istilah yang sembarangan.
Disinilah diperlukan sebuah adab dalam menilai sebuah perbedaan pendapat di antara para ulama. Jika masih dalam wilayah khilafiyah, hendaknya kita bijak dan tidak mudah melontarkan kata-kata atau kalimat yang kurang tepat dan bukan pada pada tempatnya. Penggunaan istilah yang keliru hanya menyebabkan perpecahan di kalangan umat Islam.*
Sekretaris MIUMI (Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia) Jawa Timur
Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar

Hidayatullah.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar