Selasa, 31 Januari 2017

BERIMAN KEPADA ALLAH, RUKUN IMAN PERTAMA.


RUKUN PERTAMA:
BERIMAN KEPADA ALLAH SUBHANAHU WATAALA

Mewujudkan iman kepada Allah Seseorang tidak dianggap beriman kepada Allah
sehingga meyakini hal-hal berikut ini:

Pertama : Meyakini bahwa hanya Allah subhanahu wataala satu-satu-Nya pencipta alam mayapada ini, menguasai, mengatur, mengurus segala sesuatu didalamnya, memberi rizki, kuasa, menjadikan, mematikan, menghidupkan dan yang mendatangkan manfaat serta madharat. Dia berbuat segala sesuatu sesuai dengan kehendak-Nya, menghukum sesuai dengan kehendak-Nya, memuliakan siapa yang dikendaki-Nya dan menghinakan siapa saja yang dikendaki-Nya, ditangan-Nya semua kekuasaan langit dan bumi, Maha Kuasa atas segala sesuatu, Maha Mengetahui segala sesuatu, tidak butuh kepada siapapun, bagi-Nya segala urusan, Di tangan-Nya semua kebaikan, tidak ada sekutu bagi-Nya, tidak satupun yang bisa menghalangi-Nya. Semua makhluk baik malaikat, jin, manusia adalah hamba-Nya, semuanya dibawah kekuasaan, ketetapan dan kehendak-Nya, perbuatan-perbuatanNya tidak terhitung dan terhingga. Semua kekhususan tersebut hanya dimiliki oleh Allah subhanahu wataala, tidak ada sekutu bagi-Nya, tidak ada yang berhak memiliki sifat-sifat tersebut selain- Nya, dan tidak boleh menisbatkan dan menetapkan salah satu sifat-sifat tersebut kepada siapapun selain-Nya.

Allah berfirman:
 “Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang sebelummu agar kamu bertaqwa, Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala tumbuh-tumbuhan sebagai rezki untukmu.” (Al-Baqarah:21-22).

Dan dalam ayat lain:
 “Katakanlah! wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engaku hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau maha kuasa atas segala sesuatu.” (Ali Imron:26).

Dan Allah berfirman:
 “Dan tidak ada satupun binatang melata di bumi melainkan Allah lah yang memberi rezkinya dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat menyimpannya. Semua tertulis dalam kitab yang nyata (lauh mahfudz).” (Hud:6).

Kedua : Meyakini bahwa hanya Allah subhanahu wataala satu-satunya yang memiliki nama-nama yang paling agung dan sifat-sifat yang paling sempurna, yang sebagiannya telah Allah jelaskan, baik dalam Al-Qur’an maupun sunah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman:
 “Hanya milik Allah asmaul husna (nama-nama yang agung), maka mohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang meyimpang dari kebenaran dalam menyebut nama-nama- Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (Al-A’raf: 180).
Dan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama, barangsiapa menghitungnya, maka akan masuk surga dan Allah itu witir (ganjil) dan menyukai halhal yang (berjumlah) ganjil.” (Muttafaq alaih).

Keyakinan ini dibangun di atas dua unsur pokok:
1. Sesungguhnya Allah memiliki nama-nama yang mulia dan sifat-sifat yang agung lagi sempurna, tidak ada sedikitpun kekurangan, dan tidak ada satupun makhluk yang menyerupai dan menyukutui-Nya dalam sifat-sifat tersebut. Dan diantara nama-nama Allah itu; Al-Hayyu (Yang Maha Hidup), maka Allah memiliki sifat Al-Hayat (hidup) yang wajib ditetapkan kepada-Nya secara sempurna dan layak. Yaitu hidup yang sempurna, lagi abadi, yang terhimpun pada-Nya berbagai macam kesempurnaan, seperti berilmu, berkuasa dan lainnya. Hidup-Nya tidak ada permulaan dan tidak ada kesudahan. Allah subhanahu wataala berfirman:
 “Allah tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur.” (Al-Baqarah:255).
2. Sesungguhnya Allah subhanahu wataala mutlak suci dari segala sifat kekurangan dan sifat cacat, seperti; tidur, lemah, bodoh, dzalim dan lain-lain, sebagaimana Dia maha suci dari menyerupai semua makhluk. Maka kita wajib menafikan segala sifat yang telah Allah nafikan dari diri-Nya dan yang dinafikan oleh Rasulullah, serta meyakini bahwa Allah memiliki sifat kesempurnaan, kebalikan dari apa yang telah dinafikanNya. Sebagai contoh: Ketika kita menafikan dari Allah sifat mengantuk berarti kita menetapkan bagi-Nya kesempurnaan sifat berdiri sendiri. Menafikan sifat tidur dari-Nya berarti menetapkan bagi-Nya kesempurnaan sifat hidup. Maka setiap kita menafikan satu sifat dari Allah, berarti kita menetapkan bagi-Nya kesempurnaan sebaliknya. Dialah yang maha sempurna, tidak ada kekurangan padaNya.
Allah berfirman:
 “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang maha mendengar lagi maha melihat.” (Asy-Syuro: 11).
Dan firman-Nya:
 “Dan sekali-kali tidaklah Tuhanmu menganiaya hamba-hamba-Nya.” (Fushshilat:46)
Dan firman-Nya :
 “Dan tidak ada suatupun yang dapat melemahkan Allah baik di langit maupun di bumi.” (Fathir:64).
 “Dan tidaklah Tuhanmu lupa” (Maryam: 64).
Beriman dengan nama-nama Allah dan sifat-sifat- Nya serta perbuatan-Nya adalah jalan yang paling tepat bagi seorang hamba untuk mengenal Allah subhanahu wataala , hal itu karena Allah tidak nampak dari penglihatan makhluk, maka dengan nama dan sifat-Nya seorang muslim menyembah Allah yang maha Esa, yang segala sesuatu bergantung kepada-Nya, yang tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak satupun yang serupa dengan-Nya.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menetapkan nama-nama Allah:
1. Beriman dengan semua nama-nama Allah, baik yang terdapat dalam Al-Qur’an maupun sunah tanpa menambah dan mengurangi.
Allah berfirman:
 “Dialah Allah yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Raja yang maha suci, yang maha sejahtera, yang mengaruniakan keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki segala keagungan, maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (Al-Hasyr:23).
Dan terdapat dalam sebuah hadits Bahwa nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam mendengar seorang laki-laki berdo’a dengan mengatakan:
“Ya Allah aku memohon kepada-Mu bahwa hanya bagimu segala puji tidak ada Tuhan (yang patut disembah) melainkan Engkau, Engkau yang memberi karunia, yang menciptakan langit dan bumi, Engkau yang memiliki keagungan dan kemuliaan, yang maha kekal, yang senantiasa mengurus hamba-Nya”, maka nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam berkata: “Tahukah kamu dengan apa dia telah berdoa kepada Allah?” Mereka menjawab: Allah dan Rasul-Nya lebih tahu. Nabipun berkata: “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya dia telah berdoa kepada Allah dengan namaNya yang agung, yang mana apabila seseorang berdo’a dengan nama-nama itu, niscaya Dia akan mengabulkan, dan apabila seseorang meminta dengan nama itu, niscaya Dia akan memberinya.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad).
2. Beriman bahwa Allah sendiri yang telah menamakan diriNya dengan nama-nama itu, tidak ada seorang makhlukpun yang memberi nama kepada-Nya, Dialah yang memuji diri-Nya dengan nama-nama tersebut, dan nama itu bukan muhdats (suatu yang baru) dan bukan pula makhluk.
3. Beriman bahwa nama-nama Allah yang agung tersebut mengandung makna yang maha sempurna, tidak ada kekurangan sedikitpun pada-Nya, dan wajib kita mengimani kandungan makna dari namanama tersebut sebagaimana kita wajib mengimani nama-nama itu sendiri.
4. Wajib memuliakan kandungan makna dari namanama tersebut, tanpa ada menyelewangkan atau meniadakannya.
5. Beriman dengan hukum-hukum yang yang dikandung oleh setiap nama-nama tersebut, begitu pula dengan segala perbuatan dan kesan yang lahir dari nama-nama itu.

Untuk memperjelas maksud dari lima point di atas, kita buat sebuah contoh:
i. Beriman dengan nama As-Sami’ (yang maha mendengar) sebagai salah satu dari nama-nama Allah yang agung, karena nama tersebut terdapat dalam Al- Qur’an dan sunah.
ii. Beriman bahwa Allah lah yang menamakan diri-Nya dengan nama tersebut, dan Dialah yang menuturkannya, serta menurunkannya dalam kitab- Nya.
iii. Beriman bahwa nama As-Sami’ (yang maha mendengar) mengandung makna mendengar, yang merupakan salah satu sifatNya.
iv. Wajib kita memuliakan sifat Allah “mendengar”, yang dikandung oleh namaNya As-Sami’, tanpa menyelewengkan maknanya, atau meniadakannya.
v. Beriman bahwasanya Allah subhanahu wata’ala mendengar segala sesuatu, dan pendengarannya mencakup semua bentuk suara, ini berarti kita harus senentiasa merasa dibawah pengawasannya, merasa takut kepadaNya, serta benar-benar yakin bahwa tidak ada satupun yang tersembunyi dari-Nya.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menetapkan sifat-sifat Allah:
1. Menetapkan semua sifat-sifat-Nya yang terdapat dalam Al-Qur’an dan sunah secara hakiki, tanpa ada penyelewengan dan penafian maknanya.
2. Keyakinan yang pasti bahwa Allah subhanahu wata’ala mempunyai sifat-sifat yang sempurna dan maha suci dari sifat-sifat kurang dan tercela.
3. Tidak menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat makhluk, karena tidak ada sesuatupun yang menyerupai Allah subhanahu wata’ala baik dalam sifat maupun perbuatan-Nya. Allah berfirman:
 “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia dan Dialah yang maha mendengar lagi maha melihat.” (Asy-Syuro:11.
4. Kesadaran penuh bahwa kita tidak akan mungkin mengetahui tentang kaifiyyat (bagaimana) sifat-sifat Allah itu, karena tidak ada yang mengetahui tentang bagaimana sifat-sifat Allah kecuali Dia, dan tidak ada jalan bagi makhluk untuk mengetahuinya.
5. Mengimani segala yang menjadi konsekwensi dari sifat-sifat itu baik berupa hukum, atau kesan-kesan yang dilahirkan oleh beriman dengan sifat tersebut. Maka setiap sifat mengandung Ubudiyyah (penghambaan diri kepada Allah). Untuk memperjelas lima point tersebut, kita ambil sebagai contoh sifat istiwa’ (bersemayam), wajib diperhatikan dalam menetapkannya hal-hal berikut:
a. Menetapkan sifat “Istiwa” (bersemayam) dan mengimaninya, karena sifat tersebut terdapat dalam Al-Quran dan As-sunnah. Allah berfirman:
 “(Yaitu) Tuhan yang maha Rohman (pemurah), yang bersemayam di atas arsy.” (Thoha:٥).
b. Menetapkan sifat istiwa’ bagi Allah dengan sempurna, yang layak denganNya. Maknanya:
menetapkan bersemayamnya Allah dan tingginya diatas ‘ArsyNya secara hakiki, sesuai dengan keagungan dan kebesaran-Nya.
c. Tidak menyerupakan sifat istiwa’ Allah di atas ‘arsy dengan istiwa’nya makhluk, karena Allah tidak butuh sama sekali kepada ‘Arsy, sedangkan bersemayamnya makhluk mengharuskan sifat butuh kepada yang lain. Allah berfirman:
 “Tidak ada suatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha mendengar lagi Maha melihat.” (Asy-Syuro:11).
d. Menjauhkan diri dari pembicaraan tentang bagaimana sifat bersemayamnya Allah di atas arsy, karena itu adalah permasalahan gaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah.
e. Beriman dengan hukum dan kandungan sifat tersebut, yaitu dengan menetapkan keagungan Allah subhanahu wata’ala, kemuliaan dan kebesaran-Nya, yang layak denganNya, sesuai dengan tingginya Allah secara mutlak dari semua makhluk, dan menghadapkan hati kepada ketinggianNya, seperti yang diungkapkan dalam sujud (سبحان ربي الأعلى) “Maha suci Tuhan Yang Maha Tinggi.”
Ketiga: Keyakinan hamba bahwa Allah subhanahu wataala adalah Tuhan yang haq, Dialah satu-satunya yang berhak untuk menerima semua ibadah yang lahir dan batin, tidak ada sekutu bagi-Nya.

Allah berfirman:
 “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan: “Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thaghut-thaghut itu.” (An- Nahl:36).

Dan tidak ada seorang pun dari rasul kecuali menyerukan kepada kaumnya:
 “Sembahlah Allah! sekali-kali tidak ada Tuhan bagi kamu selain-Nya.” (Al-A’raf: ٥٩).

Dan Allah juga telah berfirman:
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dengan menjalankan agama dengan lurus.” (Al- Bayyinah:5).
Dalam sahih Bukhari dan Muslim, bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam berkata kepada Muadz:

“Tahukah kamu apa hak Allah terhadap hamba- Nya dan hak hamba terhadap Allah, Muadz
mengatakan: Allah dan Rasul-Nya lebih tahu. Rasulullah berkata: Hak Allah atas makhluk hendaknya mereka menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan suatupun, adapun hak hamba atas Allah bahwa Allah tidak mengadzab siapa saja yang tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Ilah (Tuhan) yang haq Dialah yang menjadi tempat bergantungnya hati para hamba, penuh dengan rasa cinta kepadaNya melebihi cinta kepada yang lain, pengharapan hanya kepada-Nya, dan meminta dan memohon pertolongan hanya kepada-Nya, serta tidak ada rasa takut dan khawatir kepada selain-Nya. 

Allah berfirman:
 “Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) yang haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah, itulah yang batil dan sesungguhnya Allah, Dialah yang maha tinggi lagi maha besar.” (Al-Hajj:62).
Dan inilah yang dimaksud mentauhidkan Allah dengan perbuatan hamba.

Urgensi tauhid:
1. Tauhid adalah yang pertama dan terakhir, yang lahir dan bathin (inti) dari agama Islam dan merupakan misi dari setiap rasul.
2. Karena tauhid inilah Allah menciptakan makhluk, mengutus para rasul, dan menurunkan kitab-kitab. Dan karena tauhid pula manusia tergolong menjadi muslim dan kafir, bahagia dan celaka.
3. Tauhid adalah kewajiban pertama bagi seorang hamba, dan merupakan hal pertama yang
memasukkan seseorang ke dalam Islam, dan perkara terakhir manusia yang hendak meninggalkan dunia.

Memurnikan Tauhid
Yaitu Membersihkannya dan memurnikannya dari unsur-unsur syirik, bid’ah dan maksiat, dan terbagi menjadi dua: wajib dan sunah. Adapun yang wajib ada tiga hal :

1. Mensucikan tauhid dari perbuatan syirik, yang menafikan asas tauhid.
2. Mensucikan tauhid dari macam-macam bid’ah, yang menafikan kesempurnaan tauhid yang wajib, atau menafikan asas tauhid manakala bid’ah tersebut membawa kepada kekufuran.
3. Mensucikan tauhid dari bentuk-bentuk kemaksiatan yang bisa mengurangi pahala tauhid dan berpengaruh kepadanya.
Adapun yang sunah adalah perintah-perintah yang sifatnya anjuran, seperti misalnya:
a. Mewujudkan kesempurnaan tingkatan Ihsan.
b. Menggapai kesempurnaan tingkatan yakin.
c. Mewujudkan kesempurnaan sifat sabar, dengan tidak mengadu kepada selain Allah.
d. Mewujudkan kesempurnaan qanaah, dengan memohon hanya kepada Allah.
e. Menyempurnakan tingkatan tawakal, dengan meninggalkan hal-hal yang mubah yang merupakan sebab, seperti ruqyah (mantera), berobat karena tawakkal kepada Allah.
f. Mewujudkan kesempurnaan tingkatan cinta kepada Allah, dengan banyak melakukan hal-hal yang sunat sebagai bentuk pendekatan diri kepada-Nya. Maka barangsiapa telah mewujudkan tauhid sesuai dengan yang digariskan di atas dan terhindar dari syirik
besar, maka ia akan selamat dari kekal di neraka, dan barangsiapa yang terhindar dari semua bentuk syirik, besar maupun kecil serta dosa-dosa besar dan semua jenis kemaksiatan maka ia akan selamat di dunia dan akhirat.

Allah berfirman:
 “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni segala dosa selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikendakinya.” (An- Nisa’:40).

Dan dalam ayat lain Allah berfirman:
 “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan Iman mereka dengan kedzaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Al-An’am:83).

Hal-hal yang bertentangan dengan Tauhid.
Ada tiga perkara yang berlawanan dengan tauhid:

1. Syirik besar yang menafikan asas tauhid, Allah tidak akan mengampuninya kecuali dengan benar-benar bertaubat. Barangsiapa mati dalam keadaan syirik kepada Allah maka ia akan kekal di neraka. Dan bentuk syirik akbar itu adalah menjadikan sekutu bagi Allah dalam ibadah. Berdo’a kepada sekutu tersebut seperti halnya berdo’a kepada Allah, bertawakal, berharap, dan takut kepadanya seperti halnya kepada Allah subhanahu wataala . Allah berfirman:
 “Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah akan mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang dzalim itu seorang penolongpun.” (Al-Maidah:72).

2. Syirik kecil yang menafikan kesempurnaan tauhid, yaitu semua sarana dan jalan yang bisa mengantarkan kepada syirik besar seperti bersumpah dengan selain Allah, berbuat riya’.

3. Syirik yang tersembunyi, yaitu yang berhubungan dengan niat dan maksud seseorang. Dan bisa jadi hal itu masuk dalam syirik besar atau syirik kecil, sebagaimana sudah dijelaskan pada point satu dan dua.
Diriwayatkan dari Mahmud bin Lubaid radiallahu anhu bahwasanya rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya sesuatu yang paling saya takutkan atas kamu adalah syirik kecil, mereka bertanya: apa itu syirik kecil wahai rasulullah? Beliau menjawab: Riya’.” (HR. Ahmad).


Definisi ibadah
Ibadah adalah sebuah ungkapan yang mencakup segala hal yang dicintai dan diridhai oleh Allah baik itu berbentuk keyakinan, amalan hati, perbuatan anggota badan, dan segala yang mendekatkan diri kepada Allah berupa melaksanakan perintah atau meninggalkan larangan-Nya. Dan masuk dalam kategori ibadah semua apa yang disyari’atkan Allah dalam kitab-Nya atau sunnah nabi- Nya. Ibadah tersebut bermacam-macam, diantaranya ibadah hati, seperti rukun Iman yang enam, rasa takut, harap, tawakal dan lain-lain, dan diantaranya ibadah lahir, seperti sholat, zakat, puasa dan haji.

Syarat-syarat sahnya ibadah
Ibadah seseorang dianggap sah manakala terpenuhi dua syarat berikut:

1. Mengikhlaskan ibadah hanya karena Allah, tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatupun, inilah makna syahadat Lailaha illallah.
Allah berfirman:
 “Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu kitab (Al-Qur’an) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata) : Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya. Sesungguhnya Allah akan memutuskan diantara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.” (Az-Zumar:2-3).
Dan dalam firman-Nya:
 “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dengan menjalankan agama dengan lurus.” (Al-Bayyinah:5).

2. Mengikuti apa yang telah dibawa oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, yaitu : berbuat sesuai dengan apa yang telah dicontohkan oleh beliau, tanpa ada menambah dan mengurangi. Inilah makna syahadat Muhammadar Rasulullah (sesungguhnya Muhammad itu adalah utusan Allah). Allah berfirman:
 “Katakanlah : Jika kamu benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” (Ali Imran:31).
Dan dalam ayat lain Allah berfirman:
 “Apa yang dibawakan Rasul kepadamu maka terimalah dia dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (Al-Hasyr:7).
Dan firman Allah:
 “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan. Kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An- Nisa:65).

Ubudiyyah (penghambaan diri kepada Allah) secara sempurna tidak akan terwujud kecuali
dengan dua hal :

1. Kesempurnaan cinta kepada Allah, yang mana seorang hamba mengedepankan cintanya kepada Allah dan cintanya kepada apa-apa yang dicintai Allah dari cinta kepada yang lainnya.

2. Kesempurnaan tunduk dan merendahkan diri kepada Allah, yang mana seorang hamba tunduk dan patuh dalam melaksanakan semua perintah dan menjauhi semua larangan-Nya.
Maka, inti dari ibadah pada dasarnya adalah hadirnya rasa cinta, ketundukan, rendah diri, harapan, rasa takut, karena dengan itu semua terwujudlah makna penghambaan diri kepada Allah subhanahu wataala . Dengan Ubudiyyah kepada Allah seseorang akan sampai kepada kecintaan Allah dan ridhoNya. Dan Allah sangat mencintai hamba-Nya yang senantiasa mendekatkan diri kepada-Nya dengan ibadah-ibadah yang wajib, dan barang siapa memperbanyak ibadahibadah sunah maka hal itu akan lebih mendekatkan dirinya kepada Allah subhanahu wataala dan akan terangkat derajatnya di sisi-Nya. Dan sebagai balasan-nya di akhirat dia akan dimasukkan ke surga dengan rahmat dan karunia-Nya.
Allah berfirman:
 “Berdo’alah kepada Tuhanmu dengan merendahkan diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Al-A’raf:٥٥).

Dalil-dalil dan bukti-bukti keesaan Allah subhanahu wataala
Dalil-dalil dan bukti-bukti tentang keesaan Allah subhanahu wataala banyak sekali, siapa saja yang menggunakan akalnya untuk memikirkan dan mengkaji bukti-bukti dan dalil-dalil itu maka akan mantap pengetahuannya dan bertambah keyakinannya tentang keesaan Allah pada perbuatan, nama, sifat dan uluhiyyah-Nya .
Sebagai contoh di antara bukti-bukti dan dalil tentang keesaan Allah sebagai berikut:

1. Kebesaran ciptaan alam semesta ini, dan kerapian ciptaannya serta dengan berbagai macam makhluk yang ada di dalamnya, semuanya berjalan dengan aturan yang sangat rapi, barangsiapa mengamati dan berfikir tentang itu semua, maka dia pasti yakin dengan keesaan Allah. Barangsiapa yang mengamati ciptaan langit dan bumi, matahari dan bulan, manusia
dan hewan serta semua benda-benda hidup dan mati, maka dia pasti yakin bahwa dibalik itu semua ada sang pencipta yang maha sempurna dalam nama, sifat dan uluhiyyah-Nya, dan ini menandakan bahwa Dialah satu-satu-Nya yang berhak untuk disembah.

Allah berfirman:
 “Dan telah kami jadikan di bumi ini gunung-gunung yang kokoh, supaya bumi itu (tidak) goncang bersama mereka, dan telah kami jadikan pula di bumi itu jalan-jalan yang luas, agar mereka mendapat petunjuk. Dan Kami jadikan langit itu sebagai atap yang terpelihara sedang mereka berpaling dari segala tanda-tanda (kekuasaan Allah) yang terdapat padanya. Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan, masing-
masing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarannya.” (Al-Anbiya’:32-33).

Dan dalam ayat yang lain:
 “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.” (Ar-Rum:22).

2. Kedatangan para rasul yang telah diutus oleh Allah dengan membawa syari’ah (hukum) dan dikuatkan dengan mu’jizat, itu semua sebagai bukti keesaan Allah dan Dialah yang berhak untuk disembah. Syari’at yang diturunkan, yang berisi hukum-hukum untuk makhluk adalah bukti nyata bahwa itu semua datang dari Tuhan yang Maha bijaksana, Maha mengetahui dengan apa yang diciptakannya, dan Maha Tahu tentang kemaslahatan makhluk-Nya. Allah berfirman:

 “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.” (Al-Hadid:25).

Dan firman-Nya:
 “Katakanlah sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa dengan Al- Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain.” (Al-Isro’:88).

3. Fitrah yang telah ditetapkan oleh Allah pada hati setiap manusia, berupa pengakuan tentang keesaan Allah subhanahu wataala . Hal itu ada dalam setiap diri manusia, sebagai buktinya: apabila seseorang sedang ditimpa musibah, maka dengan sendirinya ia kembali dan pasrah kepada Allah. Seandainya manusia itu bebas dari syubhat-syubhat dan hawa nafsu yang telah merobah fitrahnya, maka dia tidak akan dapatkan dalam dirinya kecuali pengakuan dengan keesaan Allah pada uluhiyyah, nama, sifat dan perbuatan-Nya, serta menyerah dan menerima syariah yang dibawa oleh para rasulNya. Allah berfirman:

 “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah) (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. Dengan kembali bertaubat kepada-Nya dan bertawakallah kepada-Nya serta dirikanlah sholat
dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah.” (Ar-Rum:30-31).

Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci) maka kedua orang tuanya yang menjadikan dia Yahudi, Nasrani atau Majusi. Sebagaimana binatang melahirkan anaknya secara sempurna, maka apakah kamu lihat pada hidungnya cacat? (cacat yang ada setelah lahir adalah akibat ulah pemiliknya) kemudian beliau membaca: ( فطرة الله التي فطر الناس عليه )”. (HR. Bukhori).

Disusun oleh :
Tim Riset dan kajian ilmiah
Universitas Islam Madinah (Bahasa Indonesia)
Diterjemahkan oleh :
Mawardi Muhammad Saleh
Madinah 1424 H.
أركان الإيمان باللغة الإندونيسية

Tidak ada komentar:

Posting Komentar